NewsRepublik.com, Internasional – Di tengah parade militer yang digelar Presiden Donald Trump di Washington D.C., gelombang demonstrasi besar-besaran menyapu berbagai penjuru Amerika Serikat. Ribuan kendaraan militer dan personel bersenjata berbaris di ibu kota, namun jutaan warga justru turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap kebijakan dan gaya kepemimpinan Trump.
Aksi nasional bertajuk No Kings ini berlangsung serentak di lebih dari 2.100 titik di seluruh negeri. Diprakarsai oleh koalisi lebih dari 100 kelompok, aksi ini mengusung semangat damai, sekaligus kritik keras terhadap langkah Trump yang mengerahkan Garda Nasional dan Marinir ke Los Angeles, buntut gelombang penolakan terhadap kebijakan deportasi yang dinilai semakin represif.
Penyelenggara mencatat, jutaan warga berpartisipasi. Di New York, lebih dari 200.000 orang tumpah ruah ke jalan. Di Philadelphia, massa aksi mencapai angka 100.000. Bahkan di kota kecil seperti Pentwater, Michigan, sebanyak 400 dari total 800 penduduk ikut ambil bagian angka yang luar biasa besar untuk ukuran wilayah tersebut.
Kericuhan dan Tragedi
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3389842/original/074746100_1614591577-Screenshot__79_.jpg)
Meski mayoritas berlangsung damai, sejumlah bentrokan tak terhindarkan. Di Los Angeles dan Portland, kepolisian menyatakan demonstrasi sebagai pertemuan ilegal dan membubarkan massa menggunakan gas air mata.
Sementara itu, kekerasan politik mewarnai aksi di Minnesota. Dua anggota parlemen dari Partai Demokrat menjadi korban penembakan pada dini hari. Salah satunya tewas bersama suaminya. Aparat menduga insiden itu bermotif politik.
Polisi dan Gubernur Minnesota pun mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan, bahkan mempertimbangkan kembali keikutsertaan dalam aksi protes. Namun, ribuan warga tetap memenuhi jalan-jalan di ibu kota negara bagian tersebut, menolak tunduk pada intimidasi.
Salah satu peserta, Perry McGowan, membawa poster bertuliskan nama dua korban—Melissa Hortman dan John Hoffman—disertai simbol hati merah. “Kita semua terdampak, bukan hanya oleh kekerasan politik, tapi juga kekerasan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
“Terlalu banyak kekerasan senjata, terlalu banyak kebencian di media, terlalu banyak ketidakpedulian. Sudah saatnya kita melawan semuanya itu,” tegas Perry.
Ancaman hingga Ketegangan Politik
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4363973/original/012046500_1679223657-n-beefsteak-a-20171103.jpg)
Sinyal ancaman terhadap aksi juga muncul sejak jauh hari, khususnya di negara bagian konservatif. Di Texas, aparat melaporkan adanya ancaman kredibel terhadap anggota parlemen yang berencana ikut unjuk rasa.
Di Philadelphia, ribuan orang memulai aksi dari Love Park, membawa payung dan poster. Seorang peserta, Victor (56), koki asal Argentina, mengangkat poster bergambar Trump dalam bentuk karikatur babi bertuliskan “Oink.”
“Negeri ini dibangun oleh imigran. Semua orang berhak atas kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Sementara parade militer tetap berlangsung di Washington D.C., hanya beberapa jam perjalanan dari Philadelphia. “Ini hanya pertunjukan kekuasaan yang tak perlu,” keluh Victor.
Di sisi lain, pengamanan diperketat. Gubernur Texas, Greg Abbott, mengerahkan Garda Nasional untuk menjaga situasi. Bahkan, Gubernur Florida, Ron DeSantis, menyatakan bahwa pengemudi yang dikepung demonstran berhak membela diri, termasuk dengan menabrak kerumunan jika merasa terancam.
“Anda tidak harus tinggal diam. Anda berhak mempertahankan diri,” tegas DeSantis.