Sejarah

13 September 1993: Jabatan Tangan Bersejarah Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat Guncang Panggung Dunia

7
×

13 September 1993: Jabatan Tangan Bersejarah Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat Guncang Panggung Dunia

Share this article
13 September 1993: Jabatan Tangan Bersejarah Rabin dan Arafat Guncang Panggung Dunia
Pemimpin Palestina Yasser Arafat (kiri) dan PM Israel Yitzhak Rabin (tengah) serta Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres (kanan) saat menerima Nobel. (AP)

NewsRepublik.com, SejarahPerdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat mencatat sejarah baru ketika keduanya untuk pertama kalinya berjabat tangan di hadapan publik. Peristiwa bersejarah itu berlangsung di halaman Gedung Putih, Washington D.C., Amerika Serikat, disaksikan langsung oleh ribuan pasang mata.

Momen tersebut menjadi simbol dari penandatanganan Declaration of Principles, yang dipandang sebagai tonggak awal menuju terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina, sebagaimana diberitakan BBC, Sabtu (13/9/2025).

Melalui kesepakatan itu, Israel berkomitmen menarik pasukan militernya dari Jalur Gaza serta Tepi Barat selambat-lambatnya pada April 1994.

Kesepakatan juga membuka jalan bagi rakyat Palestina untuk menyelenggarakan pemilihan umum sebagai fondasi pembentukan pemerintahan sendiri. Sementara itu, batas waktu penyelesaian konflik menyeluruh ditargetkan rampung pada Februari 1999.


Dukungan Amerika Serikat

Presiden ke-42 Amerika Serikat, Bill Clinton
Presiden ke-42 Amerika Serikat, Bill Clinton (Public Domain)

Presiden Amerika Serikat Bill Clinton menjadi tokoh kunci yang mempertemukan Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat dalam momen bersejarah di Gedung Putih. Pertemuan itu turut disaksikan para tamu undangan, termasuk dua mantan presiden AS, Jimmy Carter dan George Bush, yang sebelumnya juga mendorong proses perdamaian di Timur Tengah.

“Perdamaian yang berani ada dalam jangkauan kita,” ujar Clinton.

Ia menambahkan, meskipun perjalanan menuju perdamaian penuh tantangan, harapan akan kehidupan normal di kawasan Timur Tengah tetap begitu kuat.

Kesepakatan tersebut lahir berkat proses mediasi yang digagas Norwegia pada awal 1993, ditambah terpilihnya pemerintahan Rabin yang dikenal pro-perdamaian dengan dukungan tokoh penting seperti Shimon Peres dan Yossi Beilin.

Namun, yang membubuhkan tanda tangan pada deklarasi bukan Rabin maupun Arafat. Tugas itu diwakilkan kepada Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres bersama mitra negosiasinya dari pihak Palestina.

Dalam kesempatan itu, Rabin menyampaikan pernyataan tegas di hadapan publik.

“Kami yang telah berperang melawan kalian, warga Palestina, hari ini berkata dengan suara keras dan jelas: cukup sudah darah dan air mata, cukup,” ucapnya lantang.

Sementara Arafat menegaskan, keputusan yang dicapai dalam kesepakatan damai ini bukan perkara mudah.

“Keputusan sulit yang kami capai bersama ini membutuhkan keberanian besar,” katanya.

Menurut laporan jurnalis BBC John Simpson, langkah Arafat tersebut bahkan membuat keselamatannya terancam, namun ia tetap memilih mempertaruhkan nyawa demi perdamaian.


Perdamaian yang Tak Bertahan Lama

Ilustrasi Konflik Israel dan Palestina
Ilustrasi Konflik Israel dan Palestina

Deklarasi yang ditandatangani pada 1993 membuka jalan bagi penarikan pasukan Israel dari sebagian wilayah pendudukan serta kepulangan Yasser Arafat ke tanah Palestina pada Juli 1994. Dua tahun kemudian, Arafat terpilih sebagai presiden pertama Otoritas Nasional Palestina.

Namun, harapan perdamaian itu hanya berumur singkat. Pada 4 November 1995, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin tewas dibunuh oleh seorang ekstremis Yahudi yang menolak kebijakan penarikan pasukan Israel lebih jauh dari wilayah Palestina.

Situasi politik Israel juga berubah drastis setelah Benjamin Netanyahu dari Partai Likud memenangkan pemilu setahun kemudian. Meski ia menyetujui penarikan dari Hebron, proses perundingan damai praktis mengalami kebuntuan.

Upaya rekonsiliasi kembali tersendat pada masa pemerintahan Ehud Barak. Ketegangan makin meningkat setelah Ariel Sharon melakukan kunjungan ke kompleks Masjid Al-Aqsa/Temple Mount, langkah yang dipandang provokatif oleh warga Palestina.

Aksi protes yang bermula dari peristiwa tersebut kemudian berkembang menjadi gelombang intifada baru, kembali mengguncang Timur Tengah.