Sejarah

23 Juni 2016: Inggris Gelar Referendum Brexit, Tentukan Nasib di Uni Eropa

8
23 Juni 2016: Inggris Gelar Referendum Brexit, Tentukan Nasib di Uni Eropa
23 Juni 2016: Inggris Gelar Referendum Brexit, Tentukan Nasib di Uni Eropa

NewsRepublik.com, Sejarah – Pada tanggal 23 Juni 2016, warga Inggris memberikan suara dalam referendum nasional untuk menjawab pertanyaan penting: “Haruskah Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa atau keluar dari organisasi tersebut?”

Seperti dilansir dari laman Britannica, Senin (23/6/2025), referendum ini bukan hanya berdampak besar bagi Inggris sendiri, tapi juga mengguncang dinamika politik dan ekonomi global.

Dikenal sebagai Brexit—singkatan dari British Exit—momen ini menandai titik balik dalam hubungan Inggris dengan Uni Eropa sejak pertama kali bergabung ke European Economic Community pada tahun 1973.

Sejak saat itu, hubungan antara Inggris dan Uni Eropa kerap mengalami pasang surut. Isu seperti imigrasi, kedaulatan nasional, dan kontribusi keuangan ke anggaran Uni Eropa terus menjadi sumber ketegangan.

Memasuki dekade 2010-an, tekanan dari kalangan euroskeptis di tubuh Partai Konservatif dan kebangkitan UK Independence Party (UKIP) mendorong Perdana Menteri saat itu, David Cameron, untuk berjanji menyelenggarakan referendum sebagai janji politik.

Situasi semakin memanas ketika krisis pengungsi menerpa Eropa pada 2015. Banyak warga Inggris khawatir terhadap meningkatnya jumlah imigran dari negara-negara anggota UE, seperti Polandia, yang dinilai mengancam pasar kerja lokal dan kebijakan dalam negeri.

Di satu sisi, kelompok pendukung Brexit menilai bahwa Inggris harus kembali berdaulat penuh atas kebijakan imigrasi, hukum, dan fiskal. Di sisi lain, kubu pro-Uni Eropa mengingatkan pentingnya keanggotaan dalam pasar tunggal dan peran strategis Inggris di arena global.


Masyarakat Inggris Terbelah dalam Dua Poros Jelang Referendum Brexit

Menjelang referendum Brexit, publik Inggris terpecah menjadi dua kelompok besar dengan visi politik yang bertolak belakang: kubu Remain dan kubu Leave.

Kelompok Remain dikomandoi oleh Perdana Menteri David Cameron bersama kampanye Britain Stronger in Europe. Mereka menekankan pentingnya stabilitas ekonomi dan kekuatan geopolitik yang diperoleh melalui keanggotaan di Uni Eropa.

Sejumlah tokoh dunia turut menyuarakan dukungan untuk tetap di UE, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Kanselir Jerman Angela Merkel, serta aktor Benedict Cumberbatch.

Sementara itu, kubu Leave digawangi oleh mantan Wali Kota London Boris Johnson. Mereka mengusung narasi pengembalian kedaulatan Inggris, serta kebebasan untuk menentukan kebijakan imigrasi dan perdagangan secara independen dari blok Eropa.

Opsi keluar dari UE juga didukung oleh tokoh-tokoh seperti Donald Trump, aktor Sir Michael Caine, dan mantan Menteri Luar Negeri Lord David Owen.

Menjelang hari pemungutan suara, David Cameron sempat berupaya menenangkan keresahan di dalam negeri dengan meraih sejumlah konsesi dari Uni Eropa. Beberapa hasil negosiasi termasuk hak untuk membatasi tunjangan bagi imigran serta pengecualian dari prinsip “ever-closer union.”

Namun, meski mendapatkan sebagian besar dari tuntutan yang diajukan pada pertemuan puncak di Brussel, Februari 2016, langkah tersebut gagal membendung gelombang dukungan terhadap Brexit yang kian menguat.

Referendum ini merupakan yang pertama sejak 1975—saat rakyat Inggris memutuskan bertahan di komunitas ekonomi Eropa. Tapi kali ini, taruhannya dinilai jauh lebih besar dan berdampak luas terhadap masa depan negara.

Exit mobile version