Sejarah

28 Juni 1981: Tragedi Hafte Tir Guncang Iran, 73 Tokoh Politik Gugur dalam Serangan Bom di Markas IRP

5
×

28 Juni 1981: Tragedi Hafte Tir Guncang Iran, 73 Tokoh Politik Gugur dalam Serangan Bom di Markas IRP

Share this article
28 Juni 1981: Tragedi Hafte Tir Guncang Iran, 73 Tokoh Politik Gugur dalam Serangan Bom di Markas IRP
28 Juni 1981: Tragedi Hafte Tir Guncang Iran, 73 Tokoh Politik Gugur dalam Serangan Bom di Markas IRP

NewsRepublik.com, Sejarah – Tepat 44 tahun silam, Iran diguncang oleh salah satu serangan teror paling berdarah dalam sejarahnya. Pada malam 28 Juni 1981, sebuah ledakan dahsyat mengguncang markas Partai Republik Islam (Islamic Republican Party/IRP) di kawasan Sarcheshmeh, jantung ibu kota Teheran.

Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Hafte Tir itu terjadi sekitar pukul 21.00 waktu setempat, saat lebih dari 90 pejabat tinggi negara, termasuk anggota parlemen dan menteri kabinet, tengah mengikuti pertemuan mingguan partai. Saat itu, Kepala Kehakiman Iran, Ayatollah Seyyed Mohammad Beheshti, tengah menyampaikan pidato.

Tak lama kemudian, dua bom yang telah ditanam di dekat podium meledak, merobohkan sebagian besar bangunan dua lantai tersebut dan menewaskan 73 tokoh penting republik, termasuk Beheshti. Ledakan yang sangat kuat bahkan mengguncang sebagian besar wilayah Teheran, memaksa ribuan warga yang panik berhamburan ke jalan.

Pelaku pengeboman diidentifikasi sebagai anggota kelompok oposisi bersenjata Mojahedin-e Khalq (MKO), yang saat itu gencar melancarkan aksi sabotase terhadap pemerintahan pasca-revolusi Islam 1979.

Pasca-ledakan, suasana duka menyelimuti ibu kota. Ambulans dan petugas penyelamat bekerja sepanjang malam mencari korban di balik reruntuhan. Keesokan harinya, puluhan ribu warga Iran turun ke jalan di berbagai kota, menyuarakan kemarahan dan kecaman atas tindakan biadab tersebut.

Sebagai bentuk penghormatan, Perdana Menteri saat itu, Mohammad-Ali Rajai, mengumumkan dua hari libur nasional dan menetapkan masa berkabung selama sepekan.

Tragedi Hafte Tir tidak hanya meninggalkan luka mendalam dalam sejarah politik Iran, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap aksi teror dan pengkhianatan terhadap cita-cita revolusi.


73 Tokoh Tewas

Aksi teror yang dikenal sebagai Tragedi Hafte Tir – merujuk pada tanggal ke-7 bulan Tir dalam kalender Iran – merenggut nyawa 73 tokoh penting negara, termasuk ulama dan pemimpin revolusioner Ayatollah Seyyed Mohammad Beheshti.

Ledakan itu terjadi saat para petinggi IRP menggelar pertemuan mingguan di kantor pusat partai mereka di kawasan Sarcheshmeh, Teheran. Serangan brutal ini dirancang dan dijalankan oleh kelompok oposisi bersenjata Mojahedin-e Khalq (MKO), yang pada era pasca-revolusi gencar melancarkan aksi sabotase dan teror terhadap fondasi Republik Islam.

Ayatollah Beheshti, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kehakiman, anggota Dewan Revolusi Islam, sekaligus tokoh sentral dalam perumusan Konstitusi Iran, gugur dalam peristiwa nahas tersebut. Bersama beliau, empat menteri kabinet, sejumlah wakil menteri, 27 anggota parlemen, serta puluhan tokoh IRP lainnya turut menjadi korban.

Empat menteri yang turut tewas antara lain:

  • Hassan Abbaspour (Menteri Energi),

  • Mohammad Ali Fayazbakhsh (Menteri Kesejahteraan),

  • Musa Kalantari (Menteri Jalan dan Transportasi),

  • Mahmoud Qandi (Menteri Telekomunikasi).

Korban lainnya termasuk Mohammad Montazeri, Mohammad Ali Heydari, Seyyed Reza Paknejad, Gholamhossein Haqqani, dan Abdol Hamid Dayalmeh — semuanya dikenal sebagai tokoh berpengaruh dalam gerakan Revolusi Islam.

Setidaknya 28 orang lainnya mengalami luka-luka akibat ledakan tersebut.

Sejumlah tokoh penting Iran dilaporkan selamat karena secara kebetulan tidak berada di lokasi saat kejadian atau telah meninggalkan gedung beberapa menit sebelumnya. Mereka di antaranya adalah Akbar Hashemi Rafsanjani, Mohammad-Javad Bahonar, Mohammad-Ali Rajai, dan Behzad Nabavi.

Tragedi Hafte Tir menjadi catatan kelam yang tak terhapus dalam perjalanan Republik Islam Iran, sekaligus memperlihatkan betapa rapuhnya stabilitas politik pada masa transisi usai revolusi. Aksi ini memicu gelombang kemarahan publik dan mempertebal tekad pemerintahan baru dalam memerangi terorisme domestik.