NewsRepublik.com, Sejarah – Federasi Malaysia secara sah memproklamasikan kemerdekaannya dari Inggris pada pukul tengah malam, 31 Agustus 1957. Seremoni penyerahan kedaulatan berlangsung khidmat, disaksikan ribuan warga yang berdiri dalam hening selama dua menit untuk menandai momen bersejarah itu.
Ketika bendera kebangsaan dikibarkan, lautan massa serentak meneriakkan “Merdeka!” sebanyak tujuh kali. Tunku Abdul Rahman, perdana menteri terpilih sekaligus tokoh yang memimpin perundingan dengan Inggris, dielu-elukan sebagai Bapak Kemerdekaan.
Dalam pidato tengah malamnya, Tunku menegaskan makna hari tersebut.
“Ini adalah momen terbesar dalam kehidupan rakyat Malaysia. Sebuah bintang baru telah terbit di langit timur, bintang kebebasan bagi satu lagi bangsa Asia,” ucapnya.
Ucapan selamat turut mengalir dari sejumlah pemimpin negara Persemakmuran. Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan menyampaikan harapannya.
“Semoga 31 Agustus selalu dikenang sebagai hari yang besar dan penuh kebahagiaan dalam perkembangan Malaysia dan Persemakmuran Bangsa-Bangsa,” katanya.
Malaysia tetap berada dalam lingkup Persemakmuran. Beberapa hari setelah proklamasi, Tuanku Abdul Rahman dipilih sebagai kepala negara pertama dan akan resmi dilantik pada 2 September 1957, dengan kehadiran Duke dan Duchess of Gloucester mewakili Ratu Elizabeth II.

Tunku Abdul Rahman bukanlah figur biasa. Alumni Universitas Cambridge ini pulang ke tanah air usai Perang Dunia II, ketika Malaysia masih berada dalam kondisi darurat akibat ancaman kelompok komunis. Pada 1952, ia mendirikan Partai Aliansi yang merangkul komunitas Melayu, Tionghoa, dan India.
Kemenangan besar dalam Pemilu 1955 menghantarkan Tunku menjadi Menteri Utama. Ia berhasil mengakhiri darurat militer serta memberikan amnesti kepada gerilyawan komunis, sebelum memimpin perundingan dengan Inggris yang membuka jalan menuju kemerdekaan.
Usai kemerdekaan, Tunku memperkenalkan reformasi dengan berbagi kekuasaan bersama para sultan dan raja di Semenanjung. Namun, gesekan antar-etnis tetap terjadi.
Pada 1963, Malaysia bergabung dengan Sabah, Sarawak, dan Singapura membentuk Federasi Malaysia. Namun, persaingan politik dengan Lee Kuan Yew membuat Singapura keluar pada 1965, memperuncing ketegangan etnis.
Puncak tragedi terjadi pada 1969 ketika kerusuhan rasial menewaskan ribuan jiwa, mayoritas etnis Tionghoa. Pemerintah memberlakukan keadaan darurat, dan setahun berselang Tunku Abdul Rahman memilih mengundurkan diri dari jabatannya.
Meski begitu, ia tetap dikenang sebagai sosok yang mengantarkan bangsanya menuju kemerdekaan.












