NewsRepublik.com, Sejarah – Mao Zedong, tokoh utama revolusi komunis sekaligus pendiri Republik Rakyat China (RRC), wafat pada usia 82 tahun.
Pengumuman resmi disampaikan pada pukul 00.10 waktu Beijing oleh Komite Sentral Partai Komunis China, Dewan Negara, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional, serta Komisi Urusan Militer, seperti dilaporkan BBC, Selasa (9/9/2025).
Mao diketahui telah lama menderita sakit. Kondisinya kian memburuk dalam beberapa bulan terakhir hingga tidak lagi menyambut tamu asing.
Belum ada kepastian mengenai sosok yang akan menggantikan Mao. Pasalnya, ia tidak pernah secara resmi menunjuk penerus untuk memimpin lebih dari 800 juta rakyat China saat itu.
Kabar duka tersebut cepat menyebar di Beijing. Banyak warga tampak mengenakan pita hitam di lengan sebagai tanda belasungkawa. Sejumlah kelompok juga terlihat memberikan penghormatan di depan potret besar Mao yang terpajang di pintu utama Kota Terlarang.
Jenazah Mao akan ditempatkan di Balai Agung Rakyat sebelum upacara kenegaraan digelar pada 18 September di Lapangan Tiananmen. Dalam upacara itu, seluruh warga, kecuali yang tengah menjalankan tugas penting, diminta melakukan hening cipta selama tiga menit.
Dalam obituari resminya, Partai Komunis menyebut Mao sebagai pejuang yang berperan besar melawan “musuh-musuh” internal sejak ikut mendirikan partai pada 1921.
Jejak Perjuangan Mao Zedong

Mao Zedong dikenang sebagai pemimpin yang menakhodai pasukan komunis dalam “long march” sepanjang 6.000 mil menuju wilayah utara China pada pertengahan 1930-an. Langkah itu ditempuh untuk menghindari gempuran pasukan Nasionalis Kuomintang.
Puncak perjuangannya terjadi pada 1949, ketika ia memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China sekaligus menjabat sebagai kepala negara pertama.
Memasuki dekade 1950-an, Mao menggulirkan program ambisius bernama “Lompatan Jauh ke Depan”, yang bertujuan menggenjot produksi industri dengan membentuk komune rakyat di pedesaan. Namun kebijakan tersebut berakhir tragis, menimbulkan bencana kelaparan yang menewaskan sekitar 10 hingga 35 juta jiwa.
Meski kemudian mundur dari jabatan kepala negara, Mao tetap memegang kendali sebagai Ketua Partai Komunis.
Pada 1966, ia kembali meluncurkan gerakan besar melalui Revolusi Kebudayaan. Aksi itu ditandai dengan penutupan sekolah dan universitas serta pengerahan kelompok Red Guards untuk mengawal ideologi partai.
Gerakan tersebut menimbulkan dampak luas: banyak pejabat digulingkan, sejumlah orang mengalami penyiksaan hingga meninggal dunia, sementara satu generasi kehilangan masa depan akibat kekacauan yang ditimbulkannya.
Warisan dan Kontroversi Mao Zedong

Selain dikenal sebagai tokoh revolusi, Mao Zedong juga meninggalkan jejak penting dalam diplomasi internasional. Salah satu langkah bersejarahnya adalah membuka jalan bagi kunjungan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon pada 1972, yang menjadi titik balik hubungan Beijing–Washington. Setahun sebelumnya, China berhasil memperoleh kursi di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Meski dihormati sebagai bapak bangsa modern, Mao juga tercatat sebagai pemimpin otoriter yang penuh kontroversi. Sejumlah kebijakannya menelan puluhan juta korban jiwa dan menyisakan luka sosial yang panjang.
Kepergiannya menimbulkan kekosongan kepemimpinan. Kelompok “Gang of Four” yang dipimpin istrinya sempat berupaya menguasai pemerintahan, namun akhirnya ditangkap oleh pengganti Mao, Hua Guofeng.
Dari dinamika itu, Deng Xiaoping kemudian tampil sebagai pemimpin baru pada 1978. Deng meluncurkan reformasi ekonomi, memberi kelonggaran pada dunia akademis, serta mengurangi dominasi kolektif partai di pedesaan.
Namun, catatan kepemimpinannya juga diwarnai tragedi. Pada 1989, Deng memerintahkan penindasan terhadap demonstrasi pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen yang menewaskan ratusan orang dan mengundang kecaman internasional. Ia tetap berkuasa hingga wafat pada 1997.