NewsRepublik.com, Kesehatan – Fenomena meningkatnya kasus HIV di kalangan remaja kembali menjadi sorotan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI per Maret 2025, tercatat sebanyak 2.700 remaja berusia 15 hingga 18 tahun di Tanah Air hidup dengan HIV.
Temuan ini menegaskan bahwa penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) tidak lagi terbatas pada kelompok dewasa atau komunitas tertentu, tetapi telah merambah usia belia.
HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Tanpa penanganan yang tepat, infeksi ini berpotensi berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Sebanyak 2.700 remaja pengidap HIV tersebut termasuk dalam kelompok berisiko, di antaranya pekerja seks, pengguna narkotika suntik, transgender, serta lelaki seks dengan lelaki (LSL).
Kenaikan kasus HIV pada kelompok usia remaja mulai tercatat sejak 2023. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, dr. Ina Agustina Isturini, dalam webinar bertajuk Penanggulangan HIV pada Remaja dan Orang Muda pada 28 November 2024, menyebut prevalensi HIV/AIDS di kelompok usia 15-24 tahun meningkat di sejumlah negara, termasuk Indonesia, dibandingkan tahun 2019.
“Prevalensi HIV pada populasi remaja dan dewasa muda LSL di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, menunjukkan tren kenaikan yang lebih tinggi dari rata-rata global,” ujar Ina kala itu.
Merujuk data dari laman resmi Kemenkes, terdapat sekitar 27 ribu kasus baru HIV yang tercatat setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, hampir separuh berasal dari kelompok usia remaja dan dewasa muda.
Perilaku Seksual Remaja Jadi Sorotan
Dalam laporan Global School-Based Student Health Survey (GSHS) 2023 yang dipublikasikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ditemukan bahwa perilaku seksual remaja turut menjadi faktor pendorong kasus HIV.
“Proporsi siswa laki-laki yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual lebih tinggi dibanding perempuan. Tren hubungan seksual pranikah juga menunjukkan peningkatan pada keduanya,” kata Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Tin Afifah, dalam webinar pada Selasa (17/6).
Tin menegaskan bahwa remaja merupakan kelompok rentan terhadap berbagai perilaku berisiko, termasuk perilaku seksual tidak aman yang berpotensi menimbulkan kehamilan tak diinginkan serta penularan HIV dan penyakit menular seksual (PMS).
Ia menambahkan, masa remaja merupakan periode transisi yang krusial dalam membentuk fondasi kesehatan sepanjang hayat. Karena itu, investasi pada kesehatan remaja perlu menjadi perhatian utama.
“Upaya pencegahan risiko terkait kesehatan reproduksi harus menjadi prioritas, termasuk dalam menurunkan angka kematian ibu di masa depan,” ujarnya.
Ini Deretan Faktor Penyebab Tingginya Kasus HIV di Kalangan Remaja
Kementerian Kesehatan RI menyoroti sejumlah faktor yang menjadi pemicu tingginya kasus HIV di kalangan remaja. Minimnya paparan informasi serta terbatasnya akses terhadap edukasi menjadi salah satu penyebab utama.
Selain itu, banyak remaja belum memahami cara pencegahan HIV, rendahnya kesadaran terhadap risiko perilaku seksual, serta kurangnya pengetahuan tentang HIV turut memperparah kondisi tersebut.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, dr. Ina Agustina Isturini, menjelaskan bahwa kelompok remaja dan dewasa muda juga rentan mengalami kekerasan seksual, yang turut meningkatkan risiko penularan virus.
Guna menekan laju kasus, Ina menekankan pentingnya penguatan upaya edukasi dan pencegahan HIV, termasuk pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja.
“Berbagai upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) terus kami lakukan. Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan kepedulian dan memperkuat komitmen dalam menghadapi persoalan HIV/AIDS di Indonesia,” ujar Ina.
Ia juga mengimbau agar seluruh jajaran kesehatan, kementerian/lembaga, serta mitra terkait dapat berperan aktif dalam edukasi, sosialisasi, dan pelaksanaan kegiatan yang mendukung upaya penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di wilayah masing-masing.
Strategi Kemenkes Cegah HIV
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), drg. Widyawati, MKM, menegaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah strategis guna melindungi remaja dari ancaman HIV.
“Strategi Kementerian Kesehatan agar remaja dapat terhindar dari risiko HIV dilakukan melalui kegiatan promosi, edukasi, pencegahan, serta kolaborasi dengan berbagai pihak,” ujar Widyawati, Kamis (19/6/2025).
Kemenkes aktif mendorong edukasi seputar HIV melalui berbagai platform, termasuk media sosial dan situs resmi ayosehat.kemkes.go.id. Selain itu, informasi mengenai kesehatan reproduksi juga disampaikan melalui program penjaringan kesehatan di sekolah, menyasar anak usia sekolah dan remaja.
Untuk memperluas jangkauan edukasi, Kemenkes membentuk kader kesehatan remaja dan secara rutin menggelar kampanye pencegahan HIV pada momen-momen penting seperti Hari AIDS Sedunia, Hari Kesehatan Nasional, Hari Remaja, hingga Hari Anak Nasional.
“Materi edukasi HIV juga telah dimasukkan dalam modul pendidikan kesehatan reproduksi remaja mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA atau sederajat,” kata Widyawati, yang akrab disapa Bu Wid.
Tujuannya, tak hanya untuk menambah pengetahuan remaja, tetapi juga mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang hidup dengan HIV.
PKPR dan Peran Aktif Komunitas
Kemenkes juga mengembangkan layanan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), yang menyediakan ruang ramah bagi remaja untuk konseling, tes HIV, serta akses terhadap informasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Selain pendekatan layanan kesehatan, peran komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga menjadi bagian penting dari strategi penjangkauan. Mereka menyasar kelompok remaja berisiko tinggi dengan memberikan edukasi, memfasilitasi tes HIV, dan menghubungkan mereka ke layanan pengobatan.
“Penjangkauan ini tidak hanya berfokus pada aspek pencegahan, tetapi juga bertujuan menurunkan stigma terhadap orang dengan HIV (ODHIV),” jelas Widyawati.
Kampanye ABCDE, Pendekatan Menyeluruh untuk Cegah HIV
Sebagai bagian dari penguatan strategi pencegahan, Kemenkes menggaungkan kampanye ABCDE, yang secara khusus dirancang untuk menjangkau kalangan remaja:
-
A (Abstinence): Tidak melakukan hubungan seksual berisiko sebelum menikah
-
B (Be Faithful): Setia pada satu pasangan setelah menikah
-
C (Condom): Gunakan kondom, khususnya bagi remaja dalam populasi berisiko tinggi
-
D (Drugs): Jauhi penggunaan narkotika suntik
-
E (Education): Dapatkan edukasi HIV yang benar dan menyeluruh
“Remaja yang merasa berisiko dan belum mengetahui status HIV-nya kami dorong untuk segera melakukan tes di fasilitas kesehatan terdekat,” imbuh Widyawati.
Hingga Maret 2025, tercatat ada 12.609 layanan tes HIV yang tersedia di seluruh Indonesia, mencakup 38 provinsi. Layanan tersebut termasuk tes VCT (Voluntary Counseling and Testing) yang bersifat sukarela dan rahasia.
Widyawati menambahkan, Kemenkes tidak bekerja sendiri dalam menangani isu HIV. Kolaborasi lintas sektor juga dijalankan bersama Kementerian Pendidikan, BKKBN, dan berbagai LSM.
“Harapannya, program pencegahan HIV dapat menjangkau berbagai aktivitas yang dekat dengan kehidupan remaja,” pungkasnya.
3 Intervensi Kunci Tangkal HIV di Kalangan Remaja, Ini Penjelasan Pakar
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4668817/original/047647600_1701319471-person-holding-world-aids-day-ribbon.jpg)
Direktur The Meeting Targets and Maintaining Epidemic Control (EpiC) Indonesia sekaligus aktivis HIV/AIDS, Erlian Rista Aditya, MKM, menegaskan bahwa penanggulangan HIV di kalangan remaja memerlukan pendekatan yang komprehensif dan tidak bisa dilakukan secara parsial.
Menurut Erlian, yang telah berkecimpung selama lebih dari 27 tahun dalam isu HIV/AIDS, terdapat tiga pilar utama intervensi yang harus dijalankan secara bersamaan untuk menanggulangi penyebaran HIV di kalangan remaja.
“Yakni intervensi perubahan perilaku (IPP), intervensi biomedis, dan intervensi struktural,” kata Erlian, yang akrab disapa Aan, dalam webinar Kemenkes pada November 2024.
1. Intervensi Perubahan Perilaku (IPP)
Jenis intervensi ini menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infeksi HIV sejak dini dengan mendorong perubahan perilaku yang lebih aman.
“Intervensi perubahan perilaku fokus pada pencegahan HIV sebelum terjadi, melalui promosi kesehatan dan edukasi,” jelas Aan.
IPP dirancang untuk membantu individu menghindari perilaku berisiko dan mempertahankan status HIV-negatif. Bentuk implementasinya antara lain kampanye edukasi HIV/AIDS, promosi perilaku aman, peningkatan kesadaran pentingnya tes HIV, pendekatan edukasi sebaya, kampanye digital, hingga skrining berbasis komunitas.
Lebih dari sekadar penyuluhan satu arah, IPP merupakan paket intervensi yang menyasar perubahan pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan tindakan baik secara individu maupun kelompok.
2. Intervensi Biomedis
Pendekatan ini ditujukan bagi mereka yang telah terinfeksi maupun berisiko tinggi tertular HIV. Fokus utamanya adalah menekan penularan virus, meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV (ODHIV), serta mengurangi angka kesakitan dan kematian.
“Intervensi biomedis mencakup pencegahan penularan dan pengobatan bagi ODHIV, serta menekan morbiditas, mortalitas, dan penyebaran virus,” terang Aan.
Langkah-langkah intervensi ini meliputi skrining perilaku berisiko, tes HIV tertarget, pengiriman obat antiretroviral (ARV) ke rumah pasien, pemantauan cakupan tes, hingga penanganan pasien yang belum tercatat dalam sistem layanan kesehatan.
3. Intervensi Struktural
Berbeda dari dua pendekatan sebelumnya yang bersifat individual dan kelompok, intervensi struktural bergerak di level lingkungan dan sistem sosial. Tujuannya menciptakan kondisi yang mendukung pencegahan dan penanganan HIV secara luas.
“Intervensi struktural menyasar aspek lingkungan untuk menciptakan sistem yang lebih kondusif dalam akses layanan pencegahan dan pengobatan,” ujar Aan.
Pendekatan ini mencakup reformasi kebijakan yang mempermudah remaja mengakses layanan kesehatan, penghapusan stigma terhadap ODHIV, serta penguatan dukungan di tingkat komunitas. Faktor sosial, ekonomi, politik, hingga regulasi juga menjadi bagian dari intervensi ini.
Pentingnya Pendekatan Terintegrasi
Aan menekankan bahwa ketiga pendekatan tersebut tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Setiap jenis intervensi memiliki fokus yang berbeda namun saling melengkapi.
“Jika hanya mengandalkan perubahan perilaku tanpa disertai pendekatan biomedis dan struktural, hasilnya tidak akan optimal. Begitu pula sebaliknya,” tegasnya.
8 Langkah Efektif Edukasi dan Pencegahan HIV Versi Epidemiolog
1. Gunakan Bahasa yang Dekat dengan Dunia Remaja
Remaja cenderung tidak tertarik dengan istilah medis yang terlalu teknis. Sebaliknya, mereka lebih mudah memahami narasi yang bersifat relatable atau dekat dengan pengalaman mereka.
“Remaja enggak akan tertarik dengan istilah seperti ‘penularan vertikal’. Tapi akan lebih tergugah kalau dibahas lewat pertanyaan seperti, ‘Kenapa ya teman bisa kena HIV tapi kelihatannya sehat-sehat saja?’” kata Dicky, Kamis (19/6/2025).
2. Sesuaikan Pendekatan dengan Karakteristik Wilayah
Konteks sosial dan budaya setiap daerah berbeda. Remaja yang tinggal di wilayah perkotaan seperti Jakarta memiliki latar belakang yang berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Karena itu, pendekatan edukasi tak bisa disamaratakan.
3. Libatkan Teman Sebaya dan Sosok Idola
Edukasi yang disampaikan oleh teman sebaya atau tokoh idola yang digemari remaja dinilai lebih efektif ketimbang ceramah dari kalangan orang dewasa.
“Jadi, edukasi sebaiknya tidak hanya dari dokter atau guru, tapi juga dari mereka yang menjadi panutan di mata remaja,” ujar Dicky.
4. Optimalkan Media Sosial dan Konten Digital
Di era digital, pendekatan konvensional seperti brosur dan seminar cenderung kurang menarik perhatian remaja. Sebagai gantinya, edukasi dapat dikemas dalam format video pendek, komik digital, atau podcast.
“Konten digital seperti itu lebih mudah diserap remaja,” tambahnya.
5. Hindari Nada Menghakimi atau Menakut-nakuti
Penyampaian edukasi dengan cara menakuti hanya akan menjauhkan remaja dari informasi penting. Sebaliknya, pendekatan edukatif harus mendorong mereka membangun kemampuan untuk mengambil keputusan yang sehat.
“Ajarkan mereka keterampilan seperti negosiasi dan penolakan, agar muncul rasa hormat terhadap diri sendiri dan kemampuan menolak ajakan berisiko,” jelas Dicky.
6. Libatkan Keluarga dan Guru dengan Pendekatan Inklusif
Remaja memerlukan ruang yang aman untuk bertanya dan berdiskusi. Sayangnya, banyak dari mereka memilih diam karena takut dihakimi.
“Orangtua dan guru harus dilatih untuk menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi remaja, bukan menjadi hakim yang memberi vonis,” tegasnya.
Spesialis Jelaskan Kunci Utama Cegah HIV
Spesialis penyakit dalam dr. Ahmad Akbar, Sp.PD, menegaskan bahwa salah satu kunci utama dalam pencegahan HIV adalah dengan mengenali status kesehatan diri sendiri.
“Kita harus tahu terlebih dahulu status kesehatan kita, agar tidak menularkan penyakit seperti HIV. Selain itu, hindari seks bebas dan terapkan pola aktivitas seksual yang aman. Jangan mengganti-ganti jarum suntik, terutama bagi yang memiliki kebiasaan bertato atau menggunakan narkoba, karena ini sangat berisiko menularkan HIV,” jelas dr. Akbar dalam talkshow Kementerian Kesehatan.
Menurut dr. Akbar, skrining HIV sangat penting dilakukan oleh individu yang berisiko. Gejala awal HIV umumnya muncul dalam 2 sampai 4 minggu setelah infeksi, yang dikenal sebagai fase akut atau prodromal syndrome, dengan gejala mirip flu ringan.
“Pada tahap awal, gejala HIV seperti pegal-pegal, demam, bahkan demam tinggi tanpa sebab jelas, diare, serta pembesaran kelenjar getah bening yang persisten, perlu diwaspadai dan segera diperiksakan,” katanya.
Sayangnya, banyak orang tidak menyadari tubuhnya terinfeksi HIV karena gejala yang muncul ringan dan bisa hilang dengan sendirinya, sementara virus terus berkembang dalam tubuh.
Tes HIV yang dilakukan terlalu dini dapat menghasilkan hasil negatif palsu karena antibodi belum terbentuk sempurna. Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengulang tes setelah 4 minggu, dan jika masih meragukan, tes ulang kembali setelah 3 bulan.
Dr. Akbar juga menjelaskan bahwa transisi dari infeksi HIV ke AIDS tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan berlangsung selama 3 hingga 10 tahun, tergantung kondisi daya tahan tubuh, tingkat replikasi virus, dan respons terhadap infeksi.
Tahap AIDS merupakan fase akhir infeksi HIV yang ditandai dengan penurunan drastis sistem kekebalan tubuh dan munculnya penyakit oportunistik seperti tuberkulosis, pneumonia, serta infeksi berat lainnya.