Ekonomi

Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Harga Minyak Dunia Berpotensi Melonjak

8
×

Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Harga Minyak Dunia Berpotensi Melonjak

Share this article
Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Harga Minyak Dunia Berpotensi Melonjak
Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Harga Minyak Dunia Berpotensi Melonjak

NewsRepublik.com, Ekonomi – Spekulasi mengenai potensi aksi balasan Iran terhadap serangan Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklirnya kembali mencuat. Salah satu skenario yang dikhawatirkan adalah penutupan Selat Hormuz, jalur pelayaran utama yang menjadi nadi pengiriman minyak dunia.

Dilansir dari BBC, Selasa (24/6/2025), sekitar 20% pasokan minyak dan gas bumi global melewati selat sempit di kawasan Teluk tersebut. Jika akses Selat Hormuz benar-benar ditutup, dampaknya diyakini akan signifikan terhadap ekonomi global, mulai dari gangguan perdagangan hingga lonjakan harga minyak.

Efek domino dari penutupan selat ini juga diperkirakan bakal meningkatkan biaya barang dan jasa secara global, serta berdampak langsung pada negara-negara importir minyak utama seperti China, India, dan Jepang.

Menanggapi ancaman tersebut, pengamat energi Komaidi Notonegoro menyebut, potensi penutupan Selat Hormuz akan memberikan tekanan pada harga minyak global. Sebab, jalur ini merupakan rute vital untuk pengiriman minyak ke kawasan Asia Timur dan Eropa.

“Sekitar sepertiga dari volume minyak dunia melewati Selat Hormuz. Jika ditutup, pasokan akan berkurang drastis sementara permintaan tetap tinggi. Maka, harga minyak akan naik,” ujarnya, Selasa (24/6/2025).

Komaidi menambahkan, kondisi ini juga akan berdampak terhadap Indonesia yang masih bergantung pada impor minyak. Lonjakan harga minyak mentah global bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.

Pemerintah pun dihadapkan pada dua opsi sulit, yakni menaikkan harga energi seperti bahan bakar minyak (BBM) atau memberikan subsidi tambahan. Namun, menurut Komaidi, kenaikan harga BBM akan menekan daya beli masyarakat, sementara subsidi yang terlalu besar akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 60% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tandasnya.


Dorong Transportasi Umum

Dalam menghadapi potensi gangguan pasokan minyak akibat ketegangan geopolitik di kawasan Teluk, termasuk kemungkinan ditutupnya Selat Hormuz, pemerintah dinilai perlu menyiapkan langkah-langkah antisipatif.

Pengamat energi Komaidi Notonegoro menuturkan, salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah mencari jalur alternatif pengiriman minyak. Namun, langkah ini berisiko menambah biaya logistik secara signifikan.

Di sisi lain, Komaidi menyarankan agar pemerintah memperkuat kebijakan penggunaan transportasi umum untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM). Ia menilai, hal ini penting dalam upaya menjaga ketahanan energi nasional, terutama jika terjadi lonjakan harga akibat krisis pasokan global.

“Pemanfaatan MRT dan KRL harus ditingkatkan, khususnya di kota-kota besar yang menjadi pusat konsumsi BBM. Ini bisa memperpanjang ketersediaan pasokan energi dalam negeri,” jelasnya.

Menurut Komaidi, pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan infrastruktur pendukung transportasi publik agar masyarakat terdorong untuk beralih dari kendaraan pribadi ke moda umum.


Harga Minyak Dunia Melemah Usai Serangan Iran

Harga minyak global tercatat mengalami koreksi pada perdagangan Selasa (24/6/2025) di pasar Asia. Penurunan ini terjadi usai serangan rudal Iran ke pangkalan udara Amerika Serikat (AS) di Qatar dilaporkan tidak memakan korban jiwa, sehingga memunculkan harapan meredanya ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Mengutip CNBC, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) terpantau melemah 2,85% ke level USD 66,57 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent turun 2,77% menjadi USD 69,50 per barel. Posisi ini lebih rendah dibanding harga pada 13 Juni, saat Israel meluncurkan serangan ke wilayah Iran.

Iran diketahui meluncurkan rudal ke Pangkalan Udara Al-Udeid di Qatar sebagai bentuk balasan atas serangan AS terhadap situs nuklir strategis milik Teheran pada akhir pekan lalu. Informasi tersebut diperoleh NBC News mengutip laporan televisi pemerintah Iran.

Namun, Kementerian Luar Negeri Qatar mengonfirmasi bahwa tidak ada korban jiwa akibat serangan tersebut. Bahkan, sistem pertahanan udara Qatar berhasil mencegat rudal yang ditembakkan oleh Iran.

Sebelumnya, harga minyak sempat melonjak pada Minggu malam usai keterlibatan AS dalam konflik bersama Israel melawan Iran. Harga minyak Brent saat itu sempat menembus angka USD 81 per barel, naik lebih dari 5%, sebelum akhirnya terkoreksi. Sementara WTI sempat menyentuh level tertinggi sejak Januari 2025 sebelum kembali melemah.


Investor Yakin Ketegangan Mereda

Menteri Energi Amerika Serikat, Chris Wright, menyampaikan bahwa pergerakan harga minyak di pasar global menunjukkan optimisme investor terhadap meredanya konflik antara AS dan Iran. Optimisme ini muncul setelah Presiden Donald Trump melakukan serangan terbatas ke wilayah Iran pada akhir pekan lalu.

Sementara itu, Head of Global Commodity RBC Capital Markets, Helima Croft, menilai sebagian pelaku pasar percaya bahwa langkah Trump berhasil menurunkan eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah.

“Ini adalah bentuk strategi perdamaian melalui kekuatan. Jika tidak ada respons lanjutan dari Iran, maka bisa dikatakan Presiden Trump telah memenangkan momen penting ini,” ungkap Helima.

Presiden Trump juga menyampaikan apresiasinya kepada Iran melalui unggahan di media sosial. Ia menyebut, Iran telah memberikan informasi awal mengenai serangan balasan, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa.

Dalam pernyataannya, Trump mengajak Iran untuk menempuh jalur damai serta mendorong Israel untuk mengambil langkah serupa guna menurunkan eskalasi di kawasan.

Di sisi lain, pasar minyak global tampaknya telah menghindari skenario terburuk, yakni penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Jalur ini diketahui menjadi rute penting pengiriman minyak, dengan volume mencapai 20 juta barel per hari—sekitar 20% dari konsumsi minyak dunia pada 2024, mengacu pada data Energy Information Administration (EIA).


Kekhawatiran Penutupan Selat Hormuz Meningkat

Media pemerintah Iran melaporkan bahwa parlemen negara tersebut telah menyatakan dukungannya terhadap kemungkinan penutupan Selat Hormuz. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Iran.

Menanggapi hal itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, memperingatkan Iran agar tidak mengambil langkah tersebut. Rubio menilai, jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, maka hal itu akan menjadi bumerang bagi ekonomi Iran.

“Itu akan menjadi tindakan bunuh diri ekonomi bagi Iran, karena ekspor minyak mereka juga bergantung pada Selat Hormuz,” ujar Rubio, Minggu (22/6/2025).

Rubio menegaskan bahwa AS masih memiliki berbagai opsi untuk merespons jika skenario terburuk itu terjadi. Ia juga menyebut dampak ekonomi yang ditimbulkan akan meluas ke berbagai negara lain.

“Jika ini terjadi, akan memicu eskalasi besar yang membutuhkan respons kolektif, tidak hanya dari Amerika Serikat, tapi juga dari negara-negara lainnya,” katanya.

Berdasarkan data Kpler, Iran mengekspor sekitar 1,84 juta barel minyak per hari pada bulan lalu, dengan mayoritas pengiriman menuju China. Sementara menurut laporan bulanan OPEC yang dirilis Juni, produksi minyak Iran pada Mei 2025 tercatat mencapai 3,3 juta barel per hari.

Rubio juga menyerukan kepada pemerintah Tiongkok agar menggunakan pengaruh diplomatiknya untuk mencegah Iran menutup selat tersebut, mengingat hampir setengah dari impor minyak mentah Tiongkok melewati perairan strategis itu.

“Saya mendesak pemerintah Beijing untuk segera melakukan pendekatan, karena stabilitas Selat Hormuz juga menjadi kepentingan vital mereka,” tegas Rubio.