NewsRepublik.com, Berita – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sedikitnya 17 poin permasalahan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Temuan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, yang menyebut bahwa hasil ini merupakan bagian dari diskusi internal lembaga antirasuah terkait draf revisi tersebut.
Menurut Budi, sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP dinilai tidak selaras dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU KPK.
“Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan, dan ini masih terus kami bahas,” ujar Budi, dikutip dari Antara, Kamis (17/7/2025).
Beberapa catatan yang dipaparkan antara lain:
-
Pertama, hilangnya sifat lex specialis atau kekhususan yang dimiliki KPK dalam RUU KUHAP.
-
Kedua, keberlanjutan penanganan perkara oleh KPK yang dibatasi hanya melalui mekanisme yang diatur dalam KUHAP.
-
Ketiga, penyelidik KPK tidak diakomodasi dalam RUU KUHAP, karena hanya diatur berasal dari unsur Polri dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri.
-
Keempat, definisi penyelidikan dalam RUU KUHAP hanya sebatas mencari dan menemukan peristiwa pidana. Padahal, menurut UU KPK, penyelidikan bertujuan menemukan minimal dua alat bukti sebagai dasar penyidikan.
-
Kelima, pengakuan terhadap keterangan saksi sebagai alat bukti dalam RUU KUHAP hanya berlaku pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Sementara dalam UU KPK, keterangan saksi sudah diakui sejak tahap penyelidikan.
KPK menyatakan bahwa pembahasan terhadap draf revisi RUU KUHAP ini masih akan berlanjut, untuk memastikan sinkronisasi dengan prinsip-prinsip pemberantasan korupsi dan kewenangan khusus yang dimiliki lembaga tersebut.
Poin Tambahan
Selain lima poin awal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengidentifikasi sejumlah ketentuan lain dalam RUU KUHAP yang dinilai bertentangan dengan kewenangan khusus lembaga antirasuah. Berikut rincian tambahan yang diungkapkan Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo:
-
Keenam, penetapan tersangka dalam RUU KUHAP hanya dapat dilakukan setelah penyidik mengumpulkan dan memperoleh minimal dua alat bukti. Sementara dalam praktik KPK, tersangka dapat ditetapkan saat perkara dinaikkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan, setelah ditemukan minimal dua alat bukti.
-
Ketujuh, penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam RUU KUHAP wajib melibatkan penyidik dari Kepolisian. Padahal, KPK memiliki kewenangan independen untuk menghentikan penyidikan, cukup dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Dewan Pengawas KPK.
-
Kedelapan, proses pelimpahan berkas perkara dalam RUU KUHAP harus dilakukan melalui penyidik Polri. Sebaliknya, KPK memiliki wewenang untuk menyerahkan langsung berkas perkara dari penyidik internal kepada Penuntut Umum KPK.
-
Kesembilan, pelaksanaan penggeledahan terhadap tersangka wajib didampingi oleh penyidik Polri dari wilayah hukum setempat. Ketentuan ini dinilai berpotensi menghambat efektivitas tindakan hukum oleh KPK yang selama ini bersifat lintas wilayah.
-
Kesepuluh, penyitaan barang bukti dalam RUU KUHAP harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri. Sementara menurut ketentuan dalam UU KPK, penyitaan dapat dilakukan tanpa harus memperoleh izin dari pengadilan.
KPK menegaskan bahwa ketidaksesuaian tersebut berisiko melemahkan kewenangan lembaga dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Diskusi internal masih terus berlangsung guna merumuskan sikap resmi terhadap RUU tersebut.
17 Poin Ketidaksesuaian RUU KUHAP
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merinci total 17 poin permasalahan dalam RUU KUHAP yang dinilai berpotensi menggerus kewenangan lembaga antirasuah. Berikut poin-poin lainnya yang disampaikan Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo:
-
Kesebelas, penyadapan dalam RUU KUHAP hanya diizinkan pada tahap penyidikan, harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, dan dikategorikan sebagai tindakan paksa. Sebaliknya, berdasarkan UU KPK, penyadapan dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan, cukup diberitahukan kepada Dewan Pengawas, tanpa perlu izin pengadilan, dan bersifat rahasia.
-
Keduabelas, larangan bepergian ke luar negeri dalam RUU KUHAP hanya diberlakukan untuk tersangka. Sementara dalam praktik KPK, pembatasan ini dapat diterapkan lebih luas sesuai kebutuhan proses penyelidikan dan penyidikan.
-
Ketigabelas, pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan apabila masih dalam proses praperadilan. Hal ini berpotensi menghambat efektivitas proses hukum, terutama jika digunakan sebagai taktik untuk menunda persidangan.
-
Keempatbelas, kewenangan KPK dalam menangani perkara koneksitas tidak tercantum dalam RUU KUHAP, padahal KPK memiliki peran penting dalam menangani perkara yang melibatkan unsur sipil dan militer.
-
Kelimabelas, perlindungan terhadap saksi dan pelapor dalam RUU KUHAP hanya menjadi kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Padahal, KPK juga memiliki mandat untuk memberikan perlindungan terhadap saksi maupun pelapor dalam perkara korupsi.
-
Keenambelas, pelaksanaan penuntutan di luar daerah hukum diatur melalui pengangkatan sementara oleh Jaksa Agung. Sementara penuntut umum KPK diangkat dan diberhentikan langsung oleh KPK serta memiliki yurisdiksi di seluruh wilayah Indonesia.
-
Ketujuhbelas, definisi penuntut umum dalam RUU KUHAP hanya mencakup pejabat Kejaksaan dan lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang. KPK menyarankan agar secara eksplisit disebutkan bahwa pejabat KPK merupakan bagian dari penuntut umum.
Dengan paparan 17 poin tersebut, KPK berharap agar pembahasan RUU KUHAP ke depan mempertimbangkan secara serius keberlangsungan dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.












