Internasional

Kamboja Tangkap Lebih dari 2.100 Orang Terkait Penipuan Online, 271 WNI Terjaring Operasi

60
×

Kamboja Tangkap Lebih dari 2.100 Orang Terkait Penipuan Online, 271 WNI Terjaring Operasi

Share this article
Kamboja Tangkap Lebih dari 2.100 Orang Terkait Penipuan Online, 271 WNI Terjaring Operasi
Ilustrasi penipuan online.

NewsRepublik.com, Internasional – Pemerintah Kamboja menggencarkan operasi besar-besaran untuk memberantas jaringan penipuan online yang beroperasi lintas negara. Dalam kurun waktu kurang dari tiga pekan, lebih dari 2.100 orang telah ditangkap di berbagai lokasi di seluruh negeri, termasuk ratusan warga negara asing, salah satunya 271 warga Indonesia.

Penangkapan terbaru dilakukan pada Kamis (17/7/2025) dan Jumat (18/7) di dua provinsi utama, Kandal dan Stung Treng. Menteri Informasi Kamboja, Neth Pheaktra, menyebutkan bahwa total tersangka yang diamankan sejak operasi dimulai pada 27 Juni lalu telah mencapai 2.137 orang.

“Penggerebekan dilakukan di 43 lokasi berbeda. Dari jumlah tersebut, selain warga Indonesia, turut diamankan 429 warga Vietnam, 589 warga Tiongkok, 57 warga Korea, 70 warga Bangladesh, dan 42 warga Pakistan,” ujar Neth dalam pernyataan resminya yang dikutip kantor berita Associated Press (AP).

Sisa tersangka lainnya diketahui berasal dari Thailand, Laos, India, Nepal, Filipina, dan Myanmar.

Operasi penumpasan ini mendapat mandat langsung dari Perdana Menteri Hun Manet, yang pada awal pekan ini mengeluarkan arahan tegas agar seluruh aparat di semua tingkatan bertindak keras terhadap kejahatan penipuan daring. Ia bahkan mengancam akan memecat pejabat yang terbukti lalai atau tidak serius dalam menangani persoalan tersebut.

Organisasi PBB dan sejumlah lembaga internasional sebelumnya telah memperingatkan bahwa penipuan daring yang banyak berbasis di Asia Tenggara telah menjadi salah satu mesin penghasil uang bagi kelompok kriminal transnasional. Modus kejahatan umumnya melibatkan penyamaran sebagai teman, kerabat, atau mitra investasi palsu yang menjerat korban di berbagai negara.

Menteri Neth menegaskan bahwa penindakan tidak akan berhenti hingga seluruh jaringan kejahatan online dibongkar habis, tanpa pandang bulu terhadap lokasi atau afiliasi dari pelaku.

“Ini adalah komitmen penuh dari pemerintah Kamboja. Tidak ada toleransi terhadap kejahatan siber yang mencoreng keamanan regional dan internasional,” tegasnya.


Janji Palsu dan Ancaman

Laporan terbaru dari Komisaris Polisi Nasional Kamboja, yang dikutip oleh Menteri Informasi Neth Pheaktra, mengungkap bahwa sebelumnya telah dilakukan penahanan terhadap 2.418 orang sepanjang enam bulan pertama 2025. Penahanan ini terkait dengan 18 operasi penipuan yang tersebar di berbagai wilayah.

Dari jumlah tersebut, 73 kasus telah masuk tahap penuntutan, sementara 2.322 warga negara asing telah dideportasi.

Lebih memprihatinkan, operasi-operasi penipuan ini diduga kuat menggunakan taktik rekrutmen dengan janji palsu, yang kemudian menjerumuskan para pencari kerja ke dalam sistem kerja paksa. Para korban — kebanyakan dari Asia — awalnya dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi. Namun setibanya di Kamboja, mereka justru disekap dan dipaksa melakukan penipuan di bawah penjagaan ketat serta ancaman kekerasan fisik.

Dalam laporan yang dirilis bulan lalu, Amnesty International menyebut bahwa para korban “dijebak ke dalam kamp-kamp kerja seperti neraka” yang dijalankan oleh sindikat kriminal terorganisir. “Mereka dipaksa melakukan aksi penipuan daring di bawah ancaman kekerasan yang sangat nyata,” bunyi laporan itu.

Dugaan Kolusi dan Kegagalan Penegakan Hukum

Lebih jauh, hasil investigasi Amnesty yang berlangsung selama 18 bulan menunjukkan adanya kemungkinan kolusi antara bos kompleks asal Tiongkok dan aparat penegak hukum Kamboja. Meski berbagai pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi, banyak kompleks tersebut dibiarkan tetap beroperasi.

Pusat-pusat penipuan tersebut umumnya dijalankan oleh pelaku kejahatan terorganisir dari etnis Tionghoa, yang beroperasi di luar yurisdiksi Tiongkok. Mereka memilih negara-negara dengan sistem penegakan hukum yang lemah sebagai basis operasi mereka — termasuk Kamboja, Laos, dan Myanmar.