Politik

Respons Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, JK Singgung UU Era Bung Karno dan Perjanjian Helsinki

18
×

Respons Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, JK Singgung UU Era Bung Karno dan Perjanjian Helsinki

Share this article
Respons Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, JK Singgung UU Era Bung Karno dan Perjanjian Helsinki
Respons Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, JK Singgung UU Era Bung Karno dan Perjanjian Helsinki

NewsRepublik.com, Politik – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK), angkat bicara terkait polemik empat pulau yang menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).

Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Saat ini, keempat pulau tersebut diperebutkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemprov Sumut.

Menanggapi hal tersebut, JK mengingatkan kembali dasar hukum yang menjadi pijakan status wilayah Aceh, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Sukarno.

“Pada awalnya, Aceh merupakan bagian dari Sumatera Utara. Namun, karena terjadi pemberontakan, akhirnya Aceh ditetapkan sebagai provinsi tersendiri dengan status otonomi khusus. Jadi, dasar hukumnya jelas—Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956,” kata JK saat ditemui di kediamannya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

JK menambahkan, undang-undang tersebut juga menjadi landasan dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menghasilkan Perjanjian Helsinki pada 2005.

“Soal batas wilayah, itu diatur dalam Pasal 114, mungkin Bab I, Ayat 1, poin 4. Bunyi pasalnya, ‘Perbatasan Aceh mengacu pada perbatasan per 1 Juli 1956’. Jadi, kesepakatan Helsinki juga merujuk pada ketentuan tersebut,” jelas JK.


Empat Pulau Diklaim Milik Aceh Secara Historis

Jusuf Kalla (JK) menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno mengatur secara jelas pemisahan Aceh dari wilayah Sumatera Utara, menyusul pecahnya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada saat itu.

“Apa itu tahun 1956? Diundangkan pada tahun tersebut, Undang-Undang mengenai Aceh dan Sumatera Utara dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Intinya, Aceh sebelumnya bagian dari Sumatera Utara, banyak residen di sana. Namun karena terjadinya pemberontakan DI/TII, maka ditetapkan Aceh sebagai provinsi tersendiri dengan status otonomi khusus. Pendirian itu mencakup wilayah kabupaten-kabupaten yang sudah ada saat itu,” jelas JK.

Menurut JK, secara historis, keempat pulau yang saat ini dipersengketakan sejatinya merupakan bagian dari wilayah Aceh, khususnya Aceh Singkil, meskipun secara geografis lebih dekat ke Sumatera Utara.

“Secara historis, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil memang termasuk dalam wilayah Aceh, tepatnya Aceh Singkil,” tegasnya.

JK pun memberikan ilustrasi kasus serupa di wilayah timur Indonesia. Ia menyebut, terdapat sebuah pulau yang secara letak geografis lebih dekat ke Nusa Tenggara Timur (NTT), namun tetap menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan.

“Kalau letaknya dekat Sumatera Utara, itu hal biasa. Di Sulawesi Selatan juga ada pulau yang dekat NTT, tapi tetap milik Sulawesi Selatan. Walaupun secara jarak dekat, wilayah administratifnya tidak berubah. Itu hal yang lumrah,” pungkas JK.


JK Sudah Bertemu Mendagri Tito

Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan bahwa dirinya telah melakukan pertemuan dan berdiskusi langsung dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian terkait polemik kepemilikan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara.

Dalam pembicaraan tersebut, JK menegaskan kepada Tito bahwa keberadaan undang-undang tidak bisa digantikan atau dianulir hanya dengan Keputusan Menteri (Kepmen).

“Kami menghargai niat baik Pak Tito yang ingin pemerintahan berjalan lebih efisien, termasuk mendekatkan pelayanan dengan wilayah yang terjangkau. Tapi secara historis, pulau-pulau itu memang bagian dari Aceh,” kata JK.

Ia menambahkan, meskipun undang-undang tidak secara eksplisit menyebut nama-nama pulau tersebut, dasar pembentukan wilayah tetap merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku.

“Dalam undang-undang memang tidak disebutkan secara spesifik soal pulau-pulau itu, tapi pembentukannya tetap berdasarkan aturan hukum yang sah,” ujarnya.

Diketahui sebelumnya, empat pulau yang selama ini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil kini secara resmi berada di bawah naungan Provinsi Sumatera Utara. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, yang lokasinya berada di antara wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Singkil.

Polemik terkait status empat pulau tersebut bukanlah isu baru. Sengketa kepemilikan wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara ini telah berlangsung sejak 2008, dan hingga kini masih menyisakan perdebatan panjang soal keabsahan wilayah administratifnya.