NewsRepublik.com, F&B – Matcha, bubuk teh hijau khas Jepang, kini tak hanya identik dengan upacara minum teh tradisional. Kehadirannya semakin luas, hadir dalam kuliner modern seperti latte, es krim, kue, hingga masuk ke menu berbagai franchise minuman internasional ternama.
Fenomena tersebut memperlihatkan perbedaan mencolok antara filosofi mendalam matcha di Jepang dengan konsumsinya yang masif di dunia global. Keiko Kaneko, instruktur upacara teh di Tokyo, menegaskan bahwa penyajian matcha bukan sekadar urusan rasa, melainkan sarat nilai spiritual.
Mengenakan kimono hijau pucat, ia tampak khidmat mengocok bubuk matcha dengan pengocok bambu. “Upacara minum teh mengingatkan kita untuk menghargai setiap pertemuan sebagai sesuatu yang unik dan tak terulang,” ujarnya, dikutip dari Daily Sabah, Senin (25/8/2025).
Namun di luar ruang teh yang hening, matcha menjelma bahan utama minuman populer, seperti Matcha Creme Frappuccino yang tersaji dalam ukuran besar. Kontras tersebut menjadikan demam matcha bukan sekadar tren kuliner, melainkan juga menandai perubahan budaya.
Upacara Minum Teh, Simbol Filosofi dan Kesederhanaan Budaya Jepang

Sado, atau upacara minum teh, masih menjadi salah satu simbol penting dalam budaya Jepang. Setiap detail dalam tradisi ini memiliki makna mendalam. Pintu masuk kecil rumah teh, misalnya, dibuat agar samurai harus menundukkan badan dan meletakkan pedang sebelum masuk, sebagai penegasan prinsip kesetaraan di dalam ruang teh.
Gerakan dalam upacara dilakukan penuh ketelitian layaknya tarian, mencerminkan nilai ajaran Buddha tentang kesederhanaan dan kebersamaan yang dikenal dengan zen. Kaneko menuturkan, “Kemurnian dan ketenangan dalam upacara teh sungguh berbeda dari hiruk-pikuk keseharian, juga dari tren matcha yang sedang berkecamuk di luar rumah teh.”
Nilai-nilai tersebut berakar dari ajaran Sen no Rikyu, biksu abad ke-16 yang memperkenalkan konsep wabi-sabi, yaitu keindahan dalam kesederhanaan dan ketidaksempurnaan. Namun, jumlah praktisi sado kini semakin berkurang.
Para pengajar berharap tren matcha mampu membangkitkan minat baru terhadap tradisi ini, meski tanda-tanda kebangkitan belum terlihat. Upacara yang menekankan keheningan dan momen yang tak terulang itu kini harus berhadapan dengan budaya konsumsi serba cepat.
Produksi Matcha Jepang Hadapi Tekanan dan Persaingan Global

Lonjakan permintaan matcha di pasar internasional menimbulkan tekanan besar bagi produsen di Jepang. Berbeda dengan teh hijau biasa, produksi matcha menuntut proses lebih rumit: tanaman ditanam di area teduh, kemudian dikukus, dan digiling halus menggunakan gilingan batu. Peralihan dari produksi sencha ke matcha bukanlah keputusan mudah bagi para petani, karena membutuhkan waktu serta mengandung risiko tren yang sewaktu-waktu bisa meredup.
Untuk mendorong petani, pemerintah Jepang memberikan dukungan berupa mesin modern, lahan khusus, hingga bantuan finansial. Dampaknya terlihat, produksi tencha—bahan baku matcha—meningkat dari 1.452 ton pada 2008 menjadi 4.176 ton pada 2023.
“Kami tidak ingin ini hanya jadi tren sesaat, melainkan menjadikan matcha sebagai standar rasa dan merek global Jepang,” kata Tomoyuki Kawai dari Kementerian Pertanian Jepang.
Meski ekspor teh Jepang meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir, kekhawatiran tetap ada. Banyak petani berusia lanjut meninggalkan lahan mereka, sementara negara lain seperti Tiongkok dan kawasan Asia Tenggara mulai memproduksi matcha sendiri. Persaingan tersebut membuat Jepang berpacu menjaga posisinya sebagai tanah asal matcha.
Tren Bisnis Matcha

Bagi kalangan pebisnis, tren matcha dipandang sebagai peluang besar. Minoru Handa, pemilik toko teh keluarga Tokyo Handa-en yang berdiri sejak 1815, menyebut penjualan matcha terus menunjukkan kenaikan. “Aman dan sehat, jadi hampir tak ada alasan untuk tidak laku,” ujarnya.
Toko tersebut memiliki hubungan panjang dengan petani di Kagoshima sehingga pasokan tetap terjamin. Namun, demi menghindari penimbunan, penjualan matcha dibatasi hanya satu kaleng per pelanggan.
Meski prospeknya dianggap menjanjikan, suara kritis juga mengemuka. Anna Poian dari Global Japanese Tea Association menilai matcha berkualitas tinggi sebaiknya tidak digunakan sebagai campuran latte. “Agak disayangkan. Agak mubazir,” katanya. Ia menegaskan, matcha terbaik seharusnya hanya dinikmati dengan air agar cita rasa halusnya tetap terjaga.












