Sejarah

15 September 1950: Pendaratan PBB di Incheon Guncang Korea Utara, 50 Ribu Prajurit dan 262 Armada Tempur Dikerahkan

3
×

15 September 1950: Pendaratan PBB di Incheon Guncang Korea Utara, 50 Ribu Prajurit dan 262 Armada Tempur Dikerahkan

Share this article
15 September 1950: Pendaratan PBB di Incheon Guncang Korea Utara, 50 Ribu Prajurit dan 262 Armada Tempur Dikerahkan
Perang Korea 1950 (Sumber: Wikimedia Commons)

NewsRepublik.com, Sejarah – Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melancarkan operasi besar-besaran dengan menurunkan sekitar 50 ribu tentara di Incheon, pesisir barat Korea Selatan, tepat di belakang garis pertahanan musuh pada 15 September 1950.

Manuver ini tercatat sebagai serangan balasan terbesar pertama dalam Perang Korea. Operasi dipimpin langsung oleh Amerika Serikat bersama sekutunya, termasuk militer Korea Selatan, sebagaimana dilaporkan BBC, Senin (15/9/2025).

Gerakan mendadak itu segera menekan kekuatan Korea Utara, yang sejak 25 Juni 1950 berhasil merebut Seoul, ibu kota Korea Selatan. Kondisi tersebut memaksa pemerintahan Korea Selatan mengungsi, sementara agresi Korea Utara menuai kecaman keras dari PBB.

Operasi dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur, Komandan Pasukan Amerika Serikat, yang memantau jalannya pendaratan dari atas kapal induk.

“Inilah pagi terbaik bagi Angkatan Laut dan Marinir,” ujarnya.


Operasi Chormite

Jenderal Douglas MacArthur
Jenderal Douglas MacArthur (tengah, duduk) (Wikimedia Commons)

Operasi militer besar yang diberi sandi Chromite resmi dimulai pada pukul 06.00 waktu setempat. Sebanyak 262 kapal perang termasuk armada Inggris, Kanada, dan Australia bergerak menuju perairan Incheon untuk mendukung serangan gabungan.

Pasukan Marinir Amerika Serikat menjadi yang pertama mendarat di Pulau Wolmi, sebuah wilayah strategis yang terhubung dengan daratan utama Korea melalui jembatan sepanjang setengah mil. Dalam waktu hanya 30 menit, pulau tersebut berhasil direbut, sebelum pasukan melanjutkan serangan melintasi jembatan ke daratan utama.

Gelombang kedua pasukan infanteri sempat tertahan akibat air pasang, namun akhirnya berhasil mendarat pada sore hari sekitar pukul 17.00. Dengan dukungan tank dan serangan udara yang melumpuhkan artileri Korea Utara, pasukan bergerak maju sekitar dua mil ke arah pedalaman.

Jenderal Douglas MacArthur kemudian melaporkan kepada Departemen Pertahanan di Washington bahwa korban jiwa relatif minim dan operasi berjalan sesuai rencana. Ia juga memuji koordinasi lintas angkatan yang menurutnya berlangsung “seperti jarum jam.”

Di sisi lain, Panglima Tertinggi Korea Selatan, Mayor Jenderal Chung Il Kwon, menegaskan serangan tersebut berhasil menekan pasukan komunis di sekitar Pangkalan Udara Kimpo, salah satu titik militer vital di utara Incheon.

Minimnya perlawanan Korea Utara disebut terjadi lantaran serangan mendadak ini membuat mereka tidak siap menghadapi gempuran PBB.


Titik Balik Perang Korea

Pesawat kargo Amerika Serikat yang membawa 55 jenazah tentara AS korban Perang Korea pada 1950-1953 tiba di Pangkalan Udara Osan, Pyeongtaek, Korea Selatan, Jumat (27/7). Jenazah tersebut diterbangkan dari Korea Utara.
Pesawat kargo Amerika Serikat yang membawa 55 jenazah tentara AS korban Perang Korea pada 1950-1953 tiba di Pangkalan Udara Osan, Pyeongtaek, Korea Selatan, Jumat (27/7). Jenazah tersebut diterbangkan dari Korea Utara. (Kim Hong-Ji/Pool Photo via AP)

Pendaratan di Incheon tercatat sebagai salah satu operasi amfibi terbesar dalam sejarah militer dunia, sekaligus menjadi momentum penting yang membalikkan jalannya Perang Korea. Pasukan Korea Utara yang semula berada di atas angin akhirnya dipaksa mundur.

Menjelang akhir September 1950, pasukan PBB berhasil merebut kembali Seoul. Tentara di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur bahkan terus menekan Korea Utara hingga menyeberangi garis lintang 38, batas wilayah yang membelah Semenanjung Korea pasca-Perang Dunia II.

Namun, keunggulan itu tidak berlangsung lama. Masuknya pasukan Tiongkok pada 26 November 1950 membuat situasi kembali berbalik. Amerika Serikat dan sekutunya terpaksa mundur ke selatan, bahkan Seoul sempat jatuh ke tangan lawan sebanyak dua kali sebelum konflik berakhir dalam kondisi buntu.

Setelah perundingan panjang selama 18 bulan, gencatan senjata akhirnya diteken pada 27 Juli 1953. Perjanjian tersebut menetapkan kembali garis lintang 38 sebagai perbatasan, lengkap dengan zona demiliterisasi (DMZ) selebar 4 kilometer.

Hingga kini, kedua Korea secara teknis masih berstatus perang, lantaran belum pernah menandatangani perjanjian damai resmi.