Internasional

Alasan Prancis Siap Akui Negara Palestina, Ini Penjelasan Para Analis

56
×

Alasan Prancis Siap Akui Negara Palestina, Ini Penjelasan Para Analis

Share this article
Alasan Prancis Siap Akui Negara Palestina, Ini Penjelasan Para Analis
Ilustrasi Palestina.

NewsRepublik.com, Internasional – Presiden Emmanuel Macron, menurut sejumlah analis, berharap pengakuan resmi Prancis terhadap Negara Palestina dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang dapat mendorong negara-negara lain mengambil langkah serupa.

Para utusan internasional dijadwalkan membahas solusi dua negara dalam konflik Israel–Palestina pada awal pekan depan di New York. Diskusi tersebut akan menjadi bagian dari persiapan menuju konferensi tingkat tinggi lanjutan yang akan digelar bersama oleh Prancis menjelang Sidang Umum PBB.

Pernyataan Macron disampaikan di tengah meningkatnya keprihatinan global terhadap krisis kemanusiaan di Gaza. Lebih dari dua juta warga Palestina disebut menghadapi kondisi darurat di tengah konflik yang terus berlangsung antara Israel dan Hamas. Sejumlah lembaga kemanusiaan juga memperingatkan potensi terjadinya kelaparan massal dan runtuhnya layanan kesehatan di wilayah tersebut.

“Rasa urgensi mungkin mendorong presiden untuk maju sendiri,” ujar mantan Duta Besar Prancis untuk Israel, Gerard Araud, dikutip dari CNA.

David Khalfa dari Yayasan Jean Jaures menilai, di samping alasan kemanusiaan serta pernyataan kontroversial dari beberapa menteri Israel mengenai Gaza, Macron juga kemungkinan dipengaruhi oleh tekanan politik di dalam negeri.

Konflik di Gaza telah memicu ketegangan di Prancis, yang merupakan rumah bagi komunitas Muslim terbesar di Uni Eropa, sekaligus menjadi salah satu komunitas Yahudi terbesar di luar Israel dan Amerika Serikat (AS).

Prancis sendiri secara historis mendukung solusi dua negara, yakni pembentukan Negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan secara damai dengan Israel.

Awalnya, Macron mengusulkan agar pengakuan terhadap Palestina dilakukan secara terkoordinasi, idealnya bersamaan dengan tercapainya kesepakatan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel. Namun, karena pendekatan tersebut menemui hambatan, Macron dinilai memilih bertindak secara unilateral, dengan harapan dapat membangun momentum menjelang pertemuan PBB.

“Tujuannya adalah memanfaatkan waktu sekitar satu bulan ke depan untuk menggalang dukungan dari negara-negara lain, agar nantinya bisa membuat pengumuman bersama yang lebih besar di New York,” jelas analis dari Institut Hubungan Internasional Prancis, Amelie Ferey.

“Inggris dan Kanada mungkin bisa ikut bergabung,” tambahnya.


Prancis dan Arab Saudi Susun Peta Jalan Pasca-Perang Gaza

Warga Palestina berjalan di sepanjang jalan al-Rashid, Jabalia barat pada 23 Juli 2025, setelah menerima bantuan kemanusiaan dari titik distribusi bantuan di Jalur Gaza utara.

Prancis, Inggris, dan Kanada termasuk dalam kelompok 25 negara yang pada Senin (21/7) menyerukan penghentian perang di Gaza. Mereka menyatakan bahwa tingkat penderitaan warga sipil telah mencapai titik yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, disebut menghadapi tekanan dari internal Partai Buruh untuk mengambil langkah konkret.

“Ia ingin bergerak bersama dengan negara-negara lain dan menjadikan pengakuan terhadap Palestina sebagai alat tawar dalam proses negosiasi gencatan senjata di Gaza,” ujar Mujtaba Rahman dari Eurasia Group.

Namun demikian, Starmer dinilai cenderung berhati-hati agar tidak menimbulkan ketegangan dengan Amerika Serikat, mengingat kunjungan Presiden Donald Trump ke Skotlandia, serta belum selesainya pembicaraan perdagangan antara AS dan Inggris.

Kendati memiliki pengaruh langsung yang terbatas terhadap konflik Palestina–Israel, Prancis berharap dapat memainkan peran penting dalam diplomasi pasca-perang bersama Arab Saudi.

Camille Lons dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa menjelaskan bahwa Prancis dan Arab Saudi tengah menyusun peta jalan diplomatik yang mencakup langkah-langkah untuk mengisolasi dan melucuti senjata Hamas, menyelenggarakan pemilu Palestina pada tahun 2026, serta membentuk pemerintahan teknokrat.

Selain itu, terdapat kemungkinan usulan pembentukan pasukan penjaga perdamaian PBB yang dapat melibatkan personel dari Mesir. Tujuan dari langkah tersebut, kata Lons, adalah membangun dukungan regional untuk menyingkirkan Hamas — bahkan dari negara-negara seperti Qatar yang dikenal memiliki hubungan erat dengan kelompok tersebut.


Pengamat Nilai Rencana Prancis–Arab Saudi

Pemandangan pemukiman Har Homa yang diambil Israel, dengan latar belakang kota Betlehem (kanan) di Tepi Barat di Yerusalem Timur pada 23 September 2022. Salah satu tujuan yang diberikan untuk keputusan menyetujui pendirian Har Homa adalah untuk menghalangi pertumbuhan kota Palestina terdekat Betlehem.

Sejumlah analis menilai bahwa inisiatif diplomatik yang diusung Prancis dan Arab Saudi masih bersifat aspiratif dan sulit diwujudkan dalam waktu dekat.

“Ini cukup jauh dari kenyataan,” ujar Camille Lons.

Sementara itu, Amelie Ferey menambahkan bahwa pemerintahan Israel saat ini tampaknya menolak sepenuhnya gagasan pembentukan Negara Palestina.

Setelah hampir dua tahun perang yang dipicu serangan Hamas ke wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023, kondisi Gaza disebut mengalami kehancuran akibat serangan udara Israel. Di sisi lain, pemerintah Israel terus memperluas permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat yang diduduki, yang selama ini digadang sebagai bagian dari wilayah calon negara Palestina di masa depan.

Saat ini, sekitar 500.000 warga Israel tinggal di permukiman di Tepi Barat yang dinilai ilegal menurut hukum internasional. Di wilayah yang sama, tercatat ada sekitar tiga juta warga Palestina.

Di Yerusalem Timur yang telah dianeksasi, tercatat sekitar 200.000 warga Yahudi menetap, yang dinilai semakin menyulitkan proses pembagian wilayah di masa mendatang.

David Khalfa mencatat bahwa Arab Saudi kemungkinan kecil akan menormalisasi hubungan dengan Israel selama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu — yang oleh sejumlah pihak dituduh memperpanjang konflik untuk mempertahankan posisinya — masih memegang kekuasaan.