NewsRepublik.com, Sejarah – Zionisme merupakan sebuah gerakan politik yang lahir pada akhir abad ke-19, diprakarsai oleh komunitas Yahudi Eropa yang mengusung cita-cita pendirian negara nasional bagi bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap maraknya anti-Semitisme dan diskriminasi yang melanda Eropa, memunculkan keyakinan bahwa bangsa Yahudi memerlukan tanah air sendiri untuk menjamin keselamatan dan eksistensi mereka.
Seiring perkembangannya, Zionisme bertransformasi dari sekadar idealisme menjadi kekuatan politik global yang puncaknya ditandai dengan berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Sejak saat itu, ideologi ini menjadi elemen sentral dalam konflik panjang antara Israel dan Palestina.
Dalam karya berjudul The Jewish State (1896), Theodor Herzl menyatakan bahwa bangsa Yahudi membutuhkan wilayah berdaulat demi terbebas dari penganiayaan dan keterasingan. Gagasan ini menjadi landasan utama gerakan Zionis, yang mendorong proses kolonisasi Yahudi di wilayah Palestina dengan dukungan dari kekuatan kolonial Inggris serta sejumlah lembaga internasional. Herzl melihat Zionisme sebagai bentuk emansipasi modern bagi bangsa Yahudi untuk hidup bebas dalam sebuah negara merdeka.
Sementara itu, dalam buku Palestina: Sebuah Novel Grafis karya Joe Sacco, disajikan potret dokumentatif mengenai dampak konkret gerakan Zionis terhadap masyarakat Palestina. Melalui reportase visual yang kuat, Sacco merekam berbagai kesaksian warga sipil Palestina yang mengalami pengusiran dan kekerasan struktural sebagai imbas dari proyek pendudukan Zionis di wilayah mereka.
Oleh karena itu, memahami Zionisme sebagai gerakan politik dengan sejarah panjang dan kompleks menjadi hal krusial untuk meninjau konflik Israel–Palestina secara lebih kritis dan berimbang.
Selengkapnya, berikut ulasan NewsRepublik.com, Jumat (4/7/2025).
Zionis Adalah
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5147948/original/019876800_1740974168-arti-zionis.jpg)
Secara umum, Zionis merujuk pada individu atau kelompok yang menganut dan mendukung Zionisme, yakni sebuah gerakan nasionalisme Yahudi yang bertujuan mendirikan tanah air bagi bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Gerakan ini lahir sebagai respons terhadap meningkatnya anti-Semitisme di Eropa serta rasa tidak aman yang dirasakan komunitas Yahudi diaspora. Zionisme sendiri tidak berakar pada ajaran agama Yahudi, melainkan tumbuh dari semangat nasionalisme sekuler yang berkembang pada akhir abad ke-19.
Dalam karya The Jewish State (1896), Theodor Herzl menjelaskan bahwa Zionisme muncul karena bangsa Yahudi dianggap tidak dapat hidup aman dan bebas di negara-negara Eropa. Untuk itu, Herzl mengajukan solusi politik berupa pendirian negara Yahudi sebagai perlindungan kolektif. Gagasan ini kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan yang terorganisir dan dikenal dengan nama Zionisme. Dalam konteks ini, Zionis adalah pihak-pihak yang mendukung realisasi ide tersebut.
Sementara itu, dalam penelitian berjudul Ideologi Zionisme Dalam Timbangan Teologi Islam: Kajian Atas Rasisme dalam Pemikiran Zionisme (2021) yang ditulis oleh M. Kholid Muslih dan tim, Zionisme digambarkan sebagai bagian dari agenda besar bangsa Yahudi yang bertujuan untuk menguasai dunia. Ideologi ini mendapat kritik karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih lanjut, ideologi Zionis disebut berakar pada Kitab Talmud dan Protocols of Zion, yang dalam sejumlah interpretasi menegaskan bahwa bangsa Yahudi merupakan bangsa pilihan, sementara bangsa-bangsa lain tidak dianggap sebagai keturunan Adam, bahkan diposisikan secara dehumanisasi.
Sejarah Lahirnya Gerakan Zionis
Zionisme mulai memperoleh momentum politik pada akhir abad ke-19, seiring dengan menguatnya paham nasionalisme di benua Eropa. Pada tahun 1897, Kongres Zionis Pertama diselenggarakan di Basel, Swiss, di bawah kepemimpinan Theodor Herzl. Kongres tersebut menghasilkan rencana pembentukan negara nasional Yahudi di wilayah Palestina, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman.
Selama Perang Dunia I, gerakan Zionis mendapatkan dukungan dari pemerintah Inggris melalui Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang menyatakan dukungan terhadap pendirian “tanah air nasional” bagi bangsa Yahudi di Palestina. Dukungan terhadap proyek ini semakin menguat pasca Perang Dunia II, terutama setelah tragedi Holocaust yang menewaskan jutaan warga Yahudi. Tekanan internasional untuk menyediakan wilayah bagi bangsa Yahudi pun semakin meningkat. Puncaknya terjadi pada tahun 1948, ketika negara Israel secara resmi diproklamasikan—sebuah tonggak penting dalam sejarah gerakan Zionisme.
Namun, berdirinya negara Israel juga menjadi awal dari konflik berkepanjangan dengan masyarakat Palestina, yang merasa bahwa tanah mereka telah dirampas secara sepihak. Gerakan Zionis, yang semula bertujuan menciptakan tempat aman bagi bangsa Yahudi, dinilai mengalami pergeseran menjadi proyek kolonial dan militeristik, dengan praktik ekspansi dan pendudukan wilayah Palestina secara sistematis.
Dalam buku Palestina: Sebuah Novel Grafis karya Joe Sacco, digambarkan secara mendalam dampak langsung dari ekspansi Zionis terhadap rakyat Palestina. Sacco merekam kisah-kisah pengusiran, kekerasan, serta blokade wilayah yang dialami oleh penduduk sipil. Ia menyebut bahwa Zionisme telah beralih fungsi, dari gerakan perlindungan menjadi alat politik yang menindas hak-hak masyarakat asli Palestina.
Tujuan Zionisme dan Konflik yang Ditimbulkan
Tujuan utama dari gerakan Zionisme adalah mendirikan sebuah negara bagi bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Namun, upaya mewujudkan tujuan tersebut telah memicu konflik yang berkepanjangan dengan penduduk Palestina, yang juga mengklaim wilayah tersebut sebagai tanah air mereka secara historis dan kultural.
Konflik ini memunculkan beragam kontroversi serta kritik terhadap ideologi dan praktik Zionisme. Beberapa pihak menuduh gerakan ini mengandung unsur rasisme dan telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Tidak sedikit pula yang membandingkan kebijakan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina dengan sistem apartheid.
Dengan demikian, diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai Zionisme sebagai sebuah gerakan politik yang kompleks. Sejarahnya yang panjang serta dampaknya yang luas terhadap kawasan Timur Tengah dan tatanan global menjadikannya isu yang relevan untuk terus dikaji secara kritis. Menyamakan Zionisme dengan agama Yahudi merupakan kekeliruan yang berisiko menimbulkan prasangka dan bias yang tidak berdasar.
Membedakan Zionisme dan Yahudi
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3477039/original/026978600_1623209767-20210609-Front-Demokratik-untuk-Pembebasan-Palestina-3.jpg)
Masih banyak pihak yang keliru menganggap bahwa seluruh penganut agama Yahudi otomatis merupakan pendukung gerakan Zionisme. Padahal, kenyataannya tidak semua Yahudi menganut ideologi Zionis, dan tidak semua Zionis berasal dari kalangan Yahudi. Zionisme adalah gerakan politik, sementara Yahudi merupakan identitas keagamaan sekaligus etnis. Oleh karena itu, penting untuk memahami secara rinci perbedaan antara keduanya.
1. Asal-usul dan Tujuan
Yahudi merupakan agama monoteistik kuno yang berasal dari kawasan Timur Tengah, dengan Taurat sebagai kitab sucinya. Di sisi lain, Zionisme lahir dari arus nasionalisme modern yang berkembang di Eropa pada akhir abad ke-19, sebagai reaksi terhadap diskriminasi yang dialami komunitas Yahudi. Tujuan utama Zionisme adalah mendirikan dan mempertahankan negara Yahudi di Palestina—bukan menyebarkan ajaran agama Yahudi.
2. Sifat dan Isi Ajaran
Agama Yahudi mengajarkan prinsip-prinsip spiritual seperti ibadah, hukum makanan (kosher), etika sosial, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Sebaliknya, Zionisme tidak mengandung aspek spiritual atau keagamaan, melainkan berfokus pada strategi politik, pengorganisasian komunitas, dan lobi diplomatik guna merealisasikan kontrol atas wilayah tertentu.
3. Sikap terhadap Palestina
Sebagian besar pendukung Zionisme menyokong keberadaan negara Israel dalam format eksklusif bagi bangsa Yahudi, meskipun kerap dianggap mengesampingkan hak-hak masyarakat Palestina. Di sisi lain, sejumlah kelompok Yahudi, baik dari kalangan ortodoks maupun liberal, secara terbuka menolak Zionisme karena dinilai bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung kasih sayang dan keadilan.
4. Dukungan Global
Zionisme mendapat dukungan politik dan militer dari sejumlah negara besar seperti Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara sekutu lainnya. Sementara itu, umat Yahudi tersebar di berbagai belahan dunia dan memiliki pandangan politik yang sangat beragam. Bahkan, terdapat organisasi Yahudi anti-Zionis seperti Neturei Karta yang menentang pendirian negara Israel atas dasar keyakinan teologis.