NewsRepublik.com, Ekonomi – Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sepakat memperpanjang penangguhan kenaikan tarif impor masing-masing selama 90 hari, sebagaimana tercantum dalam perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Donald Trump pada Senin, 11 Agustus 2025.
Tanpa kesepakatan tersebut, tarif akan melonjak tajam dan berpotensi menghambat arus perdagangan antara dua perekonomian terbesar dunia. Mengutip CNN, Rabu (13/8/2025), langkah ini menjadi penentu di tengah tensi perdagangan yang memanas.
CNBC melaporkan kabar ini pertama kali, hanya beberapa jam sebelum batas waktu pukul 12:01 dini hari waktu ET. Saat itu, tarif untuk produk asal Tiongkok seharusnya naik dari 30% menjadi 54%, sedangkan tarif Tiongkok terhadap ekspor AS akan kembali meningkat dari 10% menjadi 34%.
Dalam pernyataan bersama, Beijing menegaskan perpanjangan gencatan senjata dagang selama 90 hari, serta komitmen mempertahankan tarif 10% atas produk-produk AS sepanjang periode tersebut. Pernyataan ini mengacu pada hasil pembicaraan bilateral di Swedia bulan lalu.
Langkah perpanjangan ini diambil setelah Trump memberlakukan sejumlah tarif “timbal balik” terhadap mitra dagang global, sehingga tarif efektif AS berada di titik tertinggi sejak masa Depresi Besar.
Kenaikan tarif atas barang-barang dari Tiongkok—sebagai sumber impor terbesar kedua bagi AS—diperkirakan akan menambah beban biaya bagi dunia usaha dan konsumen Amerika, baik secara langsung maupun melalui pajak impor yang meningkat.
Meski pertemuan di Swedia pada Juli lalu disebut-sebut menghasilkan kesepakatan oleh negosiator Tiongkok, Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer yang turut hadir membantahnya. Keduanya menegaskan bahwa keputusan final hanya dapat diambil dengan persetujuan Presiden Trump.
“Kita lihat saja nanti. Mereka sudah berurusan dengan cukup baik. Hubungan saya dan Presiden Xi sangat baik,” kata Trump pada Senin.
AS Sebut Pembicaraan Perdagangan dengan China Berjalan Konstruktif

Gedung Putih, dalam lembar fakta terkait perpanjangan gencatan senjata tarif, menyatakan bahwa diskusi perdagangan dengan Tiongkok berlangsung “konstruktif” dan mengutip pernyataan Presiden Donald Trump: “Hubungan kami dengan Tiongkok sangat baik.”
Pada akhir pertemuan bulan lalu bersama pejabat perdagangan Tiongkok, Menteri Keuangan Scott Bessent memperingatkan mitranya di Beijing bahwa pembelian minyak Rusia yang terus berlanjut berpotensi memicu tarif tinggi. Ancaman ini merujuk pada undang-undang Kongres yang memberi wewenang bagi Trump untuk memberlakukan pungutan hingga 500 persen.
Belum ada kepastian apakah pemerintah akan melanjutkan atau bahkan meningkatkan ancaman tersebut. Baru-baru ini, Trump juga mengancam India—yang mengimpor minyak Rusia dalam jumlah jauh lebih kecil dibandingkan Tiongkok—dengan tarif 50 persen jika pembelian tersebut berlanjut hingga akhir bulan ini.
Langkah menjatuhkan sanksi terhadap India, sementara negara lain yang juga membeli minyak Rusia tidak dikenai tindakan serupa, menuai kritik dari pemerintah India yang menilai kebijakan tersebut tidak adil. Trump menegaskan bahwa negara-negara lain bisa saja menghadapi ancaman serupa. “Anda akan melihat lebih banyak lagi. Jadi, ini baru permulaan,” ujarnya pekan lalu.
Bisnis dengan Rusia Jadi Perhatian

Dalam wawancara akhir pekan bersama Fox News, Wakil Presiden JD Vance mengungkapkan bahwa tarif serupa terhadap Tiongkok tengah dipertimbangkan, meski Presiden Donald Trump belum mengambil keputusan final.
“Mengingat kita tampaknya sedang menuju semacam kesepakatan dengan Tiongkok yang berpotensi menghasilkan pertemuan antara Xi dan Trump, pemerintahan jelas bersikap lebih lunak terhadap Tiongkok dalam beberapa minggu terakhir,” ujar Wendy Cutler, mantan negosiator perdagangan AS yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Asia Society Policy Institute.
Cutler menambahkan, jika Tiongkok memutuskan menghentikan pembelian minyak dari Rusia, langkah tersebut kemungkinan dilakukan “secara diam-diam dan bertahap,” bukan melalui pengumuman terbuka di media sosial seperti yang kerap dilakukan Trump.
Sejumlah Isu Perdagangan AS–China Masih Belum Terselesaikan
Menteri Keuangan Scott Bessent menyampaikan kekhawatiran sekaligus penyesalan atas penjualan peralatan teknologi penggunaan ganda—yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan komersial maupun militer—senilai lebih dari USD 15 miliar atau sekitar Rp16,30 triliun (estimasi kurs Rp16.400/USD) oleh Tiongkok kepada Rusia, serta pembelian minyak dari Iran yang saat ini berada di bawah sanksi.
Perselisihan lain mencuat terkait ekspor magnet tanah jarang. Meskipun Beijing berjanji akan meningkatkan ekspor, Presiden Donald Trump menegaskan bahwa komitmen tersebut belum terealisasi.
Selain itu, Washington terus mendorong agar aplikasi TikTok—yang dimiliki perusahaan asal Tiongkok—dapat dibeli oleh investor asal Amerika Serikat. Kongres telah menetapkan tenggat waktu untuk perubahan kepemilikan tersebut, dengan ancaman pelarangan aplikasi di AS jika tidak ada langkah yang diambil.