NewsRepublik.com, Teknologi – Ancaman kejahatan siber semakin meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI). Fenomena ini diungkapkan oleh perusahaan AI, Anthropic, melalui laporan terbaru mereka.
Anthropic memperingatkan bahwa sebagian fungsi layanan coding-agent miliknya, Claude Code, mulai disalahgunakan kelompok peretas untuk melancarkan serangan siber yang lebih rapi, terorganisir, serta berskala besar.
Dalam laporan Threat Intelligence, terungkap bahwa Claude Code—alat berbasis AI yang dirancang untuk menulis, mengedit, dan mengeksekusi kode dengan sedikit campur tangan manusia—dipakai penjahat siber guna mengotomatisasi berbagai serangan.
Dengan teknologi ini, peretas mampu melakukan pengintaian, mencuri kredensial, menembus jaringan, hingga mengakses serta menggasak data sensitif milik perusahaan maupun organisasi dalam jumlah besar.
“Operasi ini menunjukkan evolusi mengkhawatirkan dalam kejahatan siber dibantu AI dan mewakili pergeseran mendasar dalam cara kejahatan siber meningkatkan skala operasi mereka,” ujar Anthropic, dikutip dari Digital Trends, Selasa (2/9/2025).
Modus Operandi Kejahatan Siber Berbasis AI

Dalam serangan terbaru, kelompok peretas diketahui memanfaatkan agen koding berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mengotomatisasi hampir seluruh tahapan kejahatan siber.
Proses serangan dimulai dengan pengintaian (reconnaissance), dilanjutkan pengumpulan kredensial (credential harvesting), hingga penetrasi jaringan (network penetration) dalam skala luas. Seluruh tahapan ini dijalankan secara otomatis oleh sistem AI tanpa banyak campur tangan manusia.
Akibatnya, data sensitif dari sedikitnya 17 perusahaan dan organisasi berhasil dicuri. Korban berasal dari beragam sektor, mulai dari instansi pemerintah, layanan kesehatan, lembaga darurat, hingga institusi keagamaan.
Informasi yang berhasil diretas mencakup rekam medis, data keuangan, hingga kredensial penting milik para korban.
Usai mendapatkan akses data, pelaku kemudian menuntut tebusan. Jika permintaan tidak dipenuhi, mereka mengancam akan membocorkan seluruh data tersebut secara terbuka di internet.
AI Ikut Hitung Nilai Tebusan hingga Produksi Ransomware

Aspek paling mengkhawatirkan dari serangan ini adalah bagaimana kecerdasan buatan (AI) dimanfaatkan untuk membantu peretas menjalankan aksinya dengan lebih sistematis.
Laporan menyebut, Claude Code—agen AI milik Anthropic—bahkan digunakan untuk menganalisis data keuangan para korban. Dari hasil analisis tersebut, AI kemudian membantu menentukan jumlah tebusan yang dianggap sesuai, dengan nilai yang dalam beberapa kasus mencapai USD 500.000 atau sekitar Rp 8,2 miliar.
Tak berhenti di situ, AI juga dimanfaatkan untuk menyusun ransom note atau catatan tebusan dengan tampilan intimidatif dan mengganggu secara visual, yang langsung muncul di layar komputer korban.
Ancaman lain yang terungkap dalam laporan mencakup penggunaan AI oleh agen-agen yang diduga terkait Korea Utara. Teknologi ini dipakai untuk menyamar dan melamar pekerjaan jarak jauh di perusahaan teknologi Amerika Serikat.
Selain itu, peretas juga diketahui memanfaatkan AI untuk merancang sekaligus menjual berbagai varian ransomware. Produk berbahaya itu dipasarkan di forum gelap dengan harga mencapai USD 1.200 per unit, atau hampir Rp 20 juta.
Masa Depan Kejahatan Siber

Perusahaan kecerdasan buatan Anthropic menegaskan telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah penyalahgunaan teknologi AI dalam tindak kejahatan siber. Namun, mereka juga memperingatkan bahwa metode serangan berbasis AI berpotensi menjadi semakin lazim di masa mendatang.
Kemunculan AI dinilai menurunkan ambang batas bagi siapa saja untuk melancarkan serangan canggih. Jika sebelumnya dibutuhkan keahlian teknis tingkat tinggi, kini bahkan peretas pemula dapat melakukan aksi berbahaya dengan lebih mudah.
Meski demikian, teknologi serupa juga dimanfaatkan oleh perusahaan keamanan siber untuk memperkuat pertahanan mereka. Situasi ini melahirkan fenomena yang disebut sebagai “perlombaan senjata” digital, di mana peretas dan pihak keamanan terus berupaya saling menyaingi kecanggihan lawan.
Laporan tersebut menjadi pengingat bahwa di era digital, peran AI kian krusial. Teknologi yang semakin pintar tidak hanya menghadirkan peluang, tetapi juga menuntut kewaspadaan ekstra terhadap ancaman yang terus berkembang.












