NewsRepublik.com, Berita – Kota Jakarta kembali mencatatkan kualitas udara yang memprihatinkan. Berdasarkan pemantauan pada Kamis pagi (12/6/2025), Jakarta menempati peringkat kedua sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Mengacu pada data situs pemantau kualitas udara IQAir per pukul 06.00 WIB, Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index/AQI) di Jakarta tercatat pada angka 169. Angka tersebut mencerminkan konsentrasi partikel halus PM2.5 yang mencapai 80,5 mikrogram per meter kubik.
Dikutip dari Antara, Kamis (12/6/2025), kategori udara tidak sehat berarti berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia, terutama bagi kelompok rentan, serta dapat memengaruhi hewan dan tumbuhan, bahkan nilai estetika lingkungan.
Situs IQAir juga memberikan imbauan kepada warga Jakarta agar menutup jendela dan membatasi aktivitas di luar ruangan. Bila harus beraktivitas di luar, masyarakat disarankan menggunakan masker untuk melindungi diri dari paparan polusi.
Peringkat pertama kota dengan kualitas udara terburuk ditempati Bagdad, Irak, dengan AQI mencapai 175. Sementara posisi ketiga hingga kelima berturut-turut ditempati Delhi, India (156), Kinshasa, Kongo-Kinshasa (145), dan Addis Ababa, Etiopia (130).
Saat ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mengoperasikan 31 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) yang tersebar di berbagai wilayah administrasi ibu kota.
Data yang dikumpulkan SPKU kemudian ditampilkan melalui platform pemantauan kualitas udara yang telah disempurnakan sesuai standar nasional. Sistem ini juga terintegrasi dengan data milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), World Resources Institute (WRI) Indonesia, serta Vital Strategies.
Kualitas Udara Jakarta Hari Ini Terburuk ke-6 di Dunia, Melebihi Batas Aman WHO

Kualitas udara di Jakarta kembali menjadi perhatian publik. Pada Rabu, 11 Juni 2025, Ibu Kota menempati peringkat keenam sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, memicu kekhawatiran terkait dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Berdasarkan data dari situs pemantau kualitas udara IQAir yang diperbarui pada pukul 05.45 WIB, Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index/AQI) Jakarta tercatat di angka 129.
Dikutip dari Antara, angka tersebut termasuk dalam kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif. Konsentrasi partikel halus PM2.5 tercatat sangat tinggi, yakni mencapai 48,2 mikrogram per meter kubik. Kondisi ini menjadi ancaman serius terhadap kesehatan sistem pernapasan, khususnya bagi anak-anak, lansia, dan mereka yang memiliki riwayat penyakit paru.
Buruknya kualitas udara di Jakarta bukan terjadi sekali ini saja. Sepanjang Juni 2025, Jakarta beberapa kali masuk dalam jajaran lima besar kota dengan polusi udara terburuk secara global.
Yang memperparah situasi, tingkat PM2.5 yang terpantau hampir empat kali lipat dari ambang batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), yaitu 15 mikrogram per meter kubik. Fakta ini mempertegas bahwa polusi udara di Jakarta telah mencapai level yang mengkhawatirkan dan perlu segera ditangani secara serius.
Ini Deretan Faktor Penyebab Kualitas Udara Jakarta Semakin Memburuk

Kondisi kualitas udara di DKI Jakarta yang terus memburuk dipengaruhi oleh sejumlah faktor utama. Salah satu kontributor terbesar adalah emisi dari kendaraan bermotor. Dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi setiap harinya, ibu kota menghasilkan emisi karbon dan nitrogen oksida dalam jumlah signifikan.
Selain kendaraan, sektor industri juga menjadi penyumbang utama polusi udara. Berbagai aktivitas pabrik yang tersebar di Jakarta dan wilayah penyangga melepaskan zat polutan berat ke atmosfer. Ironisnya, banyak fasilitas industri yang belum dilengkapi sistem filtrasi serta pengendalian emisi yang memadai.
Pembakaran sampah rumah tangga turut memperparah kualitas udara. Praktik ini masih kerap dilakukan warga dan berpotensi melepas zat beracun serta partikel berbahaya yang mencemari udara.
Keterbatasan ruang terbuka hijau (RTH) juga menjadi persoalan krusial. Minimnya area hijau membuat Jakarta kehilangan kemampuan alami untuk menyerap polutan yang tersebar di udara.
Polusi udara yang memburuk membawa dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat. Risiko meningkatnya penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, hingga kanker paru-paru menjadi ancaman nyata. Bahkan, penyakit jantung kini turut dikaitkan dengan paparan polusi udara jangka panjang.
Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, serta penderita penyakit kronis menjadi yang paling terdampak. Kondisi tubuh mereka yang lebih lemah membuat risiko gangguan kesehatan akibat polusi meningkat secara signifikan.
Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah dan masyarakat menjadi sangat penting dalam menekan dampak buruk polusi udara. Masyarakat disarankan untuk menggunakan masker saat berada di luar ruangan, menerapkan pola hidup sehat, serta menghindari aktivitas yang dapat memperparah pencemaran udara.
Pemprov DKI Gencarkan Langkah Atasi Polusi Udara, Targetkan Ribuan Sensor Pemantau

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mengintensifkan upaya dalam mengatasi permasalahan polusi udara yang kian memburuk. Salah satu strategi utama yang kini dijalankan adalah pembangunan Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) untuk memantau tingkat polusi secara real-time dan menyajikan data akurat bagi masyarakat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah mengadopsi strategi penanganan polusi dari sejumlah kota besar dunia, seperti Paris dan Bangkok.
“Belajar dari kota lain, Bangkok memiliki 1.000 stasiun pemantau kualitas udara, Paris memiliki 400 SPKU,” ujar Asep.
Menurut Asep, keterbukaan informasi menjadi kunci dalam penanganan polusi yang efektif. Penyajian data secara transparan diyakini mampu mendorong langkah-langkah intervensi yang lebih tepat sasaran.
“Yang kita butuhkan bukan sekadar upaya sesaat, melainkan tindakan luar biasa dan berkelanjutan untuk mengatasi pencemaran udara di Jakarta,” tegasnya.
DLH Jakarta menargetkan penambahan hingga 1.000 sensor pemantau kualitas udara berbiaya rendah (low-cost sensors) demi memperluas cakupan pemantauan dan meningkatkan akurasi data yang digunakan sebagai dasar kebijakan.