NewsRepublik.com, Internasional – Otoritas imigrasi Amerika Serikat kini memiliki celah hukum untuk mendeportasi migran ke negara selain asal mereka hanya dengan pemberitahuan enam jam, berdasarkan kebijakan terbaru yang terungkap dalam memo internal pemerintahan Trump.
Kebijakan ini memicu kekhawatiran pelanggaran hak asasi manusia, seperti dilaporkan USA Today, Rabu (16/7/2025).
Dalam memo tertanggal 9 Juli yang ditandatangani Penjabat Direktur Imigrasi dan Bea Cukai (ICE), Todd Lyons, disebutkan bahwa biasanya ICE memberi waktu setidaknya 24 jam sebelum pemindahan ke negara ketiga. Namun, dalam “keadaan mendesak,” deportasi dapat dilakukan hanya enam jam setelah pemberitahuan, selama migran diberi kesempatan berkonsultasi dengan pengacara.
Migran juga dapat dikirim ke negara yang menjamin tidak akan menyiksa atau menganiaya mereka tanpa pemeriksaan tambahan. Kebijakan ini memberi jalan bagi pemerintahan Donald Trump mempercepat deportasi ke negara mana pun yang bersedia menerima mereka.
Langkah tersebut diambil setelah Mahkamah Agung AS mencabut perintah pengadilan tingkat lebih rendah pada Juni lalu, yang semula membatasi deportasi karena risiko penganiayaan. Dalam perkembangannya, delapan migran dari Kuba, Laos, Meksiko, Myanmar, Sudan, dan Vietnam telah dideportasi ke Sudan Selatan, meski negara itu tengah dilanda konflik.
Pemerintah AS juga disebut mendekati beberapa negara Afrika seperti Liberia, Senegal, Guinea-Bissau, Mauritania, dan Gabon untuk menerima migran yang dideportasi dari negara lain.
Gedung Putih Bela Kebijakan Deportasi Kilat
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3139627/original/094131400_1590806581-Screenshot__256_.jpg)
Pejabat Gedung Putih menyebut deportasi ke negara ketiga sebagai upaya mempercepat pemulangan migran yang dinilai tidak berhak tinggal di AS, termasuk mereka dengan catatan kriminal. Namun, kebijakan ini memicu gelombang kritik dari aktivis dan pengacara imigrasi.
“Ini sama sekali jauh dari perlindungan hukum dan proses yang dijamin undang-undang,” kata Trina Realmuto, pengacara di Aliansi Litigasi Imigrasi Nasional, yang mewakili sekelompok migran dalam gugatan class action terhadap praktik deportasi kilat ke negara ketiga.
Meski praktik ini bukan hal baru—pada masa pemerintahan Trump sebelumnya, sejumlah migran El Salvador dan Honduras pernah dipindahkan ke Guatemala—langkah tersebut diprediksi bakal lebih sering digunakan demi mencapai target deportasi tertinggi.
Sementara itu, di era Presiden Joe Biden, AS pernah menjalin kesepakatan dengan Meksiko untuk menerima ribuan migran dari Kuba, Haiti, Nikaragua, dan Venezuela, menyusul kendala memulangkan mereka langsung ke negara asal.
Adapun memo terbaru ICE kini menjadi bukti kunci dalam gugatan yang diajukan Kilmar Abrego Garcia, seorang penduduk Maryland yang dilaporkan pernah salah dideportasi ke El Salvador.












