Pariwisata

Kontroversi Rencana Pembangunan Vila di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo

68
×

Kontroversi Rencana Pembangunan Vila di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo

Share this article
Kontroversi Rencana Pembangunan Vila di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo
Pemandangan dari puncak Padar di Taman Nasional Komodo di lepas pantai Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

NewsRepublik.com, Pariwisata – Rencana pengembangan fasilitas wisata oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo (TNK), Nusa Tenggara Timur (NTT), memicu polemik. Penolakan disuarakan baik secara langsung di lapangan maupun melalui media daring.

Staf Riset dan Advokasi Sunspirit For Justice and Peace, lembaga advokasi berbasis riset di Labuan Bajo, Adriani Miming, menyampaikan bahwa Forum Titik Temu (FTT) Masyarakat Sipil Flores telah mengadakan diskusi membahas isu tersebut pada Rabu, 30 Juli 2025.

“Rencana investasi itu mencuat setelah PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) menggelar konsultasi publik pada 23 Juli 2025 yang hanya dihadiri kelompok terbatas di Golo Mori, kawasan KEK di selatan Labuan Bajo. Dalam forum, pemerintah dan PT KWE mengklaim bahwa konsultasi publik merupakan bagian dari upaya merampungkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk proyek di TNK, sebagaimana disyaratkan UNESCO,” ujarnya, Kamis (7/8/2025).

Dalam keterangan pers tertanggal Selasa, 5 Agustus 2025, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan bahwa pengusahaan wisata alam merupakan amanat UU Nomor 5 Tahun 1990 jo UU Nomor 32 Tahun 2024, yang dapat dilaksanakan di Zona Pemanfaatan.


Rencana Pembangunan 619 Unit di Pulau Padar

Pemandangan dari puncak Padar di Taman Nasional Komodo di lepas pantai Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pemandangan dari puncak Padar di Taman Nasional Komodo di lepas pantai Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyampaikan, “PT KWE merupakan pemegang izin usaha sarana pariwisata alam sejak 2014 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: SK.796/Menhut-II/2014, dengan lokasi izin usaha berada di zona pemanfaatan Pulau Padar. Hingga saat ini, belum ada aktivitas pembangunan sarana maupun prasarana wisata alam.”

Menurut rencana yang ada, luas area pembangunan mencapai sekitar 15,375 hektare atau 5,64 persen dari total 274,13 hektare perizinan berusaha di Pulau Padar. “Bukan 426 hektare seperti yang diberitakan,” tegas pihak Kemenhut. Pembangunan direncanakan berlangsung dalam lima tahap dan dibagi ke dalam tujuh blok lokasi.

Adriani mengungkapkan, berdasarkan dokumen yang telah dikaji bersama, PT KWE akan membangun total 619 unit di area tersebut. “Ratusan bangunan itu terdiri atas 448 vila, 13 restoran, satu bar besar seluas 1.200 meter persegi, tujuh lounge, tujuh pusat kebugaran, tujuh pusat spa, dan 67 kolam renang,” paparnya.

“Selain itu, akan dibangun satu Hilltop Chateau (kastel bergaya Prancis) serta satu wedding chapel (gereja untuk acara pernikahan),” tambahnya.


Tuntutan Penghentian Proyek di Pulau Padar

Keindahan Pulau Padar, Taman Nasional Komodo.
Keindahan Pulau Padar, Taman Nasional Komodo.

Saat ditanya mengenai tuntutan pihaknya, Adriani menegaskan, “Taman Nasional Komodo merupakan kawasan konservasi dengan nilai ekologis tinggi dan telah diakui sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Pembangunan ratusan vila dan fasilitas wisata lainnya oleh PT KWE di Pulau Padar akan mengubah zona rimba menjadi kawasan hunian dan bisnis padat manusia, yang secara langsung mengganggu habitat alami komodo serta mengikis nilai penting kawasan ini.”

“Karena itu, proyek PT KWE harus dihentikan karena mengancam kelestarian bentang alam dan habitat komodo. Bahkan tanpa kajian akademis pun, secara logika sederhana dapat terlihat bahwa pembangunan berskala besar ini akan sangat berisiko bagi upaya konservasi,” ujarnya.

Ia juga menambahkan, aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut mencerminkan praktik kejahatan agraria berupa perampasan ruang hidup masyarakat lokal demi kepentingan investasi. “Sebelum menjadi taman nasional, wilayah seperti Loh Liang di Pulau Komodo yang kini diberikan kepada PT KWE merupakan ruang hidup masyarakat Komodo.”

“Alih-alih dikembalikan kepada warga, kawasan ini justru diberikan kepada korporasi. Kini, warga Komodo harus hidup berdesakan di lahan seluas 17 hektare di Kampung Komodo, kontras dengan lahan perusahaan yang mencapai ratusan hektare,” pungkasnya.


Potensi Monopoli Pariwisata di Pulau Padar

Sekoci mengantarkan wisatawan mencapai bibir pantai Pulau Padar.
Sekoci mengantarkan wisatawan mencapai bibir pantai Pulau Padar.

Adriani menuturkan, “Di tengah ketidakjelasan status agraria, warga Komodo kini menggantungkan hidup pada sektor pariwisata dengan memanfaatkan area Loh Liang dan Padar Utara sebagai lokasi berjualan suvenir, mengingat tingginya kunjungan wisata ke kedua tempat tersebut. Namun kini, ruang ekonomi mereka terancam diambil alih oleh PT KWE.”

Ia menilai, PT KWE berpotensi memonopoli sektor pariwisata di kawasan ini. “Pembangunan 448 vila dan satu chateau dengan kapasitas ribuan orang dapat menguasai lebih dari separuh akomodasi wisatawan di Labuan Bajo. Kondisi ini akan mengancam keberlangsungan pelaku wisata lainnya, baik komunitas, UMKM, maupun usaha profesional yang juga memiliki hak akses,” ujarnya.

“Monopoli seperti ini harus dihentikan demi terciptanya keadilan pariwisata di Flores. UNESCO perlu bersikap tegas dan menolak pengakuan terhadap proses AMDAL yang manipulatif. Konsultasi publik yang dilakukan PT KWE dilaksanakan secara tertutup dan hanya melibatkan undangan terbatas, bertentangan dengan prinsip partisipatif yang diamanatkan UNESCO.”

“Proyek ini berdiri di atas kajian lingkungan yang cacat secara etis dan prosedural, sehingga tidak layak dijadikan dasar pengambilan keputusan investasi di kawasan situs warisan dunia,” tegasnya.


Bersurat ke UNESCO Soal Proyek Pulau Padar

Pemandangan dari atas bukit di Pulau Padar TN Komodo.
Pemandangan dari atas bukit di Pulau Padar TN Komodo.

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan, “Pemerintah Indonesia tidak akan memberikan izin pembangunan apapun sebelum dokumen EIA (AMDAL) mendapatkan persetujuan dari WHC (World Heritage Centre) dan IUCN (International Union for Conservation of Nature), sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan Outstanding Universal Value (OUV) situs warisan dunia.”

Pihak Kemenhut menegaskan bahwa setiap rencana pembangunan harus dipastikan tidak berdampak negatif pada kelestarian komodo maupun habitatnya. Evaluasi terhadap OUV—meliputi aspek ekologi, lanskap, dan sosial-budaya—akan menjadi landasan utama dalam seluruh proses penilaian.

“Kemenhut menghargai perhatian publik terhadap keberlanjutan dan kelestarian satwa komodo serta Pulau Padar. Kami mengajak semua pihak untuk menunggu hasil proses penilaian internasional yang sedang berlangsung, sekaligus menghindari penyebaran informasi yang keliru dan berpotensi menyesatkan masyarakat,” ujar mereka.

Sementara itu, Adriani mengungkapkan bahwa pihaknya akan menyiapkan pernyataan sikap kolektif dan laporan resmi, termasuk bersurat ke UNESCO sebagai langkah intervensi internasional. “Kami juga akan memulai petisi dan aksi kolektif, baik secara daring maupun luring, bersama masyarakat lokal dan jaringan gerakan masyarakat sipil di tingkat nasional,” katanya.

Ia menambahkan, gerakan solidaritas antarwilayah yang terdampak “perampasan ruang hidup akibat proyek konservasi-korporatis ini” juga akan terus diperkuat.