NewsRepublik.com, Lifestyle – Masjid Quba di Kota Madinah bukan sekadar bangunan bersejarah, namun menjadi simbol persatuan dan semangat gotong royong umat Islam yang diwariskan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah, Masjid Quba menyimpan nilai-nilai luhur yang masih dijaga hingga hari ini.
Filolog ternama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Oman Fathurahman, baru-baru ini membagikan kisah inspiratif seputar sejarah Masjid Quba langsung dari Madinah. Dalam wawancaranya bersama Tim Media Center Haji Kementerian Agama (Kemenag), ia mengungkapkan bagaimana masjid ini dibangun dengan semangat kolektif yang tinggi.
Dengan latar Masjid Quba di belakangnya, Prof. Oman memaparkan bahwa masjid ini didirikan saat Rasulullah SAW bersama para sahabat muhajirin hijrah dari Makkah menuju Madinah. Setibanya di kawasan perkampungan Bani Amr bin Auf, rombongan Rasulullah menetap selama empat hingga lima hari.
Di lokasi tersebut, sebuah keluarga dari Bani Amr bin Auf mewakafkan sebidang tanah yang dalam ukuran masa kini diperkirakan seluas 1.200 meter persegi untuk dijadikan tempat ibadah. Tanah inilah yang kemudian menjadi lokasi berdirinya Masjid Quba.
Pembangunan masjid dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Rasulullah SAW, yang dilanjutkan oleh tiga sahabat terdekatnya: Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khattab, dan Sayyidina Utsman bin Affan. Momen itu menjadi tonggak penting dalam sejarah peradaban Islam di Madinah.
Menelusuri Jejak Sejarah
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5259579/original/060988000_1750469511-oman_2.jpg)
Saat membahas perjalanan hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah, nama Sayyidina Ali bin Abi Thalib tak bisa dilewatkan. Sosok pemuda pemberani itu memegang peranan penting dalam strategi hijrah Rasul dengan tetap tinggal di Makkah demi menutupi jejak kepergian beliau.
“Lalu, ke mana Sayyidina Ali? Kita tahu bahwa beliau diperintahkan untuk tetap tinggal di Makkah guna menutupi jejak Rasul ketika akan hijrah. Karena itu, Sayyidina Ali tidak ikut langsung ke Madinah pada saat itu,” ungkap Prof. Oman Fathurahman, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Agama RI, Sabtu (21/6/2025).
Lebih lanjut, Prof. Oman menjelaskan bahwa Masjid Quba didirikan pada tahun pertama Hijriah, yang secara kalender masehi bertepatan dengan tahun 622. Saat itu, Rasulullah SAW telah berdakwah selama kurang lebih 12 hingga 13 tahun di Makkah sebelum kemudian berhijrah ke Madinah.
Ketua Mustasyar Dini Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 2025 ini menekankan pentingnya Masjid Quba dalam sejarah Islam. Keistimewaan masjid ini bahkan diabadikan dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surah At-Taubah ayat 108: “La-masjidun ussisa ‘alat-taqwâ min awwali yaumin aḥaqqu an taqûma fîh”.
Ayat tersebut mengandung makna mendalam bahwa masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama—yakni Masjid Quba—lebih berhak dijadikan tempat beribadah. Rasulullah sendiri secara khusus menunjuk masjid ini sebagai tempat yang utama untuk melaksanakan salat.
Masjid Quba: Simbol Persatuan Umat dan Nilai Keikhlasan yang Abadi
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4779214/original/078042400_1710953984-WhatsApp_Image_2024-03-20_at_11.24.42_PM.jpeg)
Masjid Quba bukan sekadar bangunan bersejarah, namun menjadi lambang kuat semangat gotong royong, keikhlasan, dan persatuan umat Islam sejak masa awal hijrah Rasulullah SAW. Tak hanya memiliki nilai spiritual tinggi, Masjid Quba juga menyimpan kisah perjuangan melawan fitnah dari golongan munafik.
Profesor Oman Fathurahman, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, menjelaskan bahwa setelah Masjid Quba berdiri, muncul masjid tandingan yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Masjid Dirar. “Dirar itu masjid yang buruk, masjid yang didirikan dengan niat menyaingi dan memecah belah umat, agar kaum Muslimin tidak lagi melaksanakan salat di Masjid Quba,” jelasnya.
Masjid Quba sendiri mencerminkan nilai-nilai luhur yang masih relevan hingga kini. “Masjid ini dibangun secara gotong royong. Kaum Muhajirin yang hijrah dari Makkah bersama kaum Anshar di Madinah bergandengan tangan mendirikan tempat ibadah ini,” ujar Oman.
Ia mengisahkan, bahan bangunan Masjid Quba kala itu sangat sederhana. Batu-batu yang tersedia digunakan sebagai pondasi, sementara tiang masjid berasal dari batang pohon kurma, dan atapnya pun terbuat dari pelepah kurma. Meski jauh dari kemewahan, masjid ini menjadi simbol kesatuan dan keimanan yang mendalam.
Oman juga mengutip sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam hadits: “Barang siapa yang bersuci dari rumahnya (berwudu), kemudian datang ke Masjid Quba dan melaksanakan salat di dalamnya, baik salat wajib maupun sunah, maka ia mendapatkan pahala seperti umrah.”
Karena itu, jamaah yang berada di Madinah sangat dianjurkan mengunjungi Masjid Quba. “Letaknya sekitar lima kilometer arah tenggara dari Masjid Nabawi. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sebagai bentuk meneladani langkah Rasulullah,” tutup Oman.
Perluasan Masjid Quba
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4447933/original/056601700_1685503013-20230530_115956__1_.jpg)
Masjid Quba tak hanya dikenal sebagai masjid pertama yang dibangun Rasulullah SAW, namun juga sebagai destinasi spiritual yang sarat nilai sejarah dan tradisi. Salah satu amalan yang terus dilestarikan hingga kini adalah menjaga wudu dari Masjid Nabawi dan melaksanakan salat di Masjid Quba, seperti yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah.
“Jaga wudu dari Masjid Nabawi sampai ke sini, lalu salat tahiyatul masjid atau salat Dhuha. Itu kebiasaan Rasulullah,” ujar Prof. Oman Fathurahman, cendekiawan asal Kuningan, Jawa Barat.
Ia menambahkan, tradisi kunjungan ke Masjid Quba pada hari Sabtu pagi telah berlangsung sejak masa Rasulullah. Disebutkan dalam berbagai riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW secara rutin mengunjungi masjid ini setiap hari Sabtu, menjadikannya kebiasaan yang terus hidup di tengah umat Islam hingga hari ini.
“Bagi jemaah haji maupun umrah, ziarah ke Masjid Quba sarat dengan pelajaran. Mulai dari nilai gotong royong, semangat persatuan, hingga pentingnya niat dalam melakukan kebaikan,” tutur Oman.
Perkembangan Masjid Quba juga tercatat dalam sejarah panjang Islam. Pada awal abad ke-8 Masehi, di era kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Abbasiyah, menara pertama masjid ini dibangun. Seiring waktu, jumlah menara pun bertambah hingga mencapai empat buah.
Langkah besar modernisasi terjadi pada tahun 1986, di bawah kepemimpinan Raja Fahd bin Abdul Aziz. Saat itu, perluasan masjid dilakukan secara signifikan hingga mencakup area seluas 20 ribu meter persegi. Tak berhenti di sana, proyek perluasan terus berlanjut untuk menampung semakin banyak jemaah dari seluruh penjuru dunia. Saat ini, Masjid Quba mampu menampung hingga 60 ribu jemaah dan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Masjid Quba Tak Hanya Tempat Ibadah
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4447932/original/075151400_1685503011-20230530_113423.jpg)
Masjid Quba bukan sekadar tempat ibadah, namun juga menjadi pusat berbagai aktivitas umat Muslim, mulai dari keagamaan hingga sosial dan ekonomi. Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. Oman Fathurahman saat memberikan penjelasan langsung dari lokasi masjid bersejarah itu.
Dalam pemaparannya, Oman menjelaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji mencakup empat aspek penting: ibadah, ziarah, tijarah (ekonomi), dan keilmuan. “Sejak zaman Rasulullah, aspek bisnis atau tijarah memang tak terpisahkan dari kehidupan umat. Rasulullah sendiri adalah seorang pebisnis. Ekosistem masjid juga mencerminkan itu, dengan aktivitas ekonomi yang tumbuh di sekitarnya sebagai bagian dari syiar,” ujar cendekiawan yang juga Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok tersebut.
Namun demikian, Oman mengingatkan bahwa Rasulullah SAW telah memberikan panduan mengenai batasan aktivitas ekonomi di lingkungan masjid. “Transaksi tidak dilakukan di dalam masjid, tapi di luar area masjid. Ini menjadi bentuk pemisahan fungsi yang tetap menjaga kesakralan tempat ibadah,” jelasnya.
Fenomena ini dapat dilihat langsung di lingkungan Masjid Quba saat ini. Di bagian belakang kompleks masjid, tersedia kawasan foodcourt yang ramai dikunjungi jemaah. Area ini menjadi titik temu berbagai aktivitas sosial dan ekonomi yang tumbuh seiring dengan kunjungan ribuan umat setiap harinya.
Oman menekankan, esensi utama masjid bukan terletak pada kemegahannya, melainkan pada keutamaannya. “Sejak awal, masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan umat, tempat berkumpul, belajar, dan saling menguatkan. Itu juga yang menjadikan Masjid Quba, bersama Masjid Nabawi dan masjid-masjid bersejarah lainnya, menjadi destinasi utama bagi jemaah haji dan umrah,” pungkasnya.