NewsRepublik.com, F&B – Di tengah kekayaan kuliner Nusantara, nasi uduk Betawi tetap menempati posisi istimewa sebagai hidangan tradisional yang sarat cita rasa dan makna budaya. Perpaduan rasa gurih dari santan, aroma rempah yang khas, serta penyajian yang sederhana namun lengkap menjadikan nasi uduk digemari lintas generasi—mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Kerap menjadi pilihan utama untuk menu sarapan, nasi uduk disajikan bersama aneka lauk seperti ayam goreng, telur dadar, tempe, serta sambal terasi. Keberadaannya tidak hanya ditemui di warung kaki lima, tetapi juga menghiasi berbagai acara syukuran dan perayaan keluarga. Bagi masyarakat Betawi, nasi uduk bukan sekadar hidangan, melainkan bagian dari identitas dan warisan budaya yang terus dilestarikan.
Dalam setiap piring nasi uduk tersimpan filosofi tentang rasa syukur, kebersamaan, serta kerja keras. Lebih dari sekadar sajian kuliner, nasi uduk menjadi simbol kehidupan masyarakat Betawi yang kaya nilai dan makna. NewsRepublik.com mengajak Anda menelusuri lebih jauh kisah, resep, serta sejarah menarik di balik hidangan legendaris ini, Senin (21/7/2025).
Nasi Uduk Betawi: Simbol Harmoni dan Doa
Secara etimologis, istilah “uduk” dalam bahasa Betawi memiliki arti “campuran”, mencerminkan filosofi di balik nasi uduk sebagai hidangan yang menggabungkan berbagai unsur sederhana menjadi sajian yang kaya rasa dan makna. Lebih dari sekadar kuliner, nasi uduk merupakan wujud harmoni dalam keberagaman—diolah dari santan dan rempah seperti serai, lengkuas, dan daun salam, yang menghasilkan aroma khas dan cita rasa gurih yang lekat di ingatan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasi uduk didefinisikan sebagai nasi yang dimasak dengan santan dan dibumbui. Tradisi ini diyakini merupakan hasil akulturasi budaya Melayu dan Jawa, yang kemudian diadopsi secara khas oleh masyarakat Betawi. Tak heran bila nasi uduk memiliki kemiripan dengan nasi lemak khas Melayu atau nasi gurih dari Jawa, namun tetap mempertahankan karakter lokal yang otentik.
Sebagai makanan rakyat, nasi uduk dulunya menjadi solusi ekonomis dan bergizi bagi kalangan pekerja seperti petani, buruh, dan pedagang. Cukup dengan lauk sederhana, hidangan ini sudah mampu memberikan kepuasan rasa. Filosofinya sederhana: dari unsur-unsur biasa, jika diracik dengan niat baik dan semangat kebersamaan, mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
Tak hanya sekadar menu harian, nasi uduk juga mengandung makna spiritual yang mendalam. Kerap hadir dalam berbagai tradisi seperti syukuran, selamatan, hingga tumpengan, nasi uduk dipercaya sebagai simbol doa, harapan, serta ungkapan syukur atas rezeki dan keberkahan hidup.
Resep Nasi Uduk Betawi Autentik
Mengacu pada buku Jajanan Kaki Lima Khas Betawi karya Linda Carolina Brotodjojo, berikut adalah resep nasi uduk Betawi autentik yang dapat dengan mudah Anda praktikkan di rumah. Cocok untuk sajian keluarga maupun acara spesial.
Bahan-Bahan (untuk 8 porsi):
-
1 kg beras, dicuci bersih dan ditiriskan
-
1¼ liter santan dari 1 butir kelapa
-
2 lembar daun salam
-
1 ruas lengkuas, dimemarkan
-
1 batang serai, ambil bagian putihnya, dimemarkan
-
2 lembar daun pandan, diikat simpul
-
1 sendok teh garam
-
Bawang merah goreng secukupnya untuk taburan
Bahan Pelengkap:
-
Tempe goreng
-
Tahu goreng
-
Ayam goreng
-
Sambal terasi
-
Lalapan (seperti timun, daun kemangi, dan kol rebus)
Cara Membuat:
-
Rebus santan bersama daun salam, lengkuas, daun pandan, serai, dan garam hingga mendidih. Aduk perlahan agar santan tidak pecah.
-
Masukkan beras ke dalam santan yang telah direbus. Aduk hingga santan terserap dan tekstur beras mulai mengering.
-
Kukus beras hingga matang sempurna. Alternatif lain, gunakan magic com hingga proses memasak selesai. Jika tekstur nasi masih kurang matang, tambahkan sedikit air panas dan masak kembali.
-
Sajikan nasi uduk dalam keadaan hangat, lengkap dengan taburan bawang merah goreng serta aneka lauk pelengkap.
Nasi Uduk dalam Sejarah Kuliner Jakarta
Pada tahun 2010, nasi uduk Betawi resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, sebuah pengakuan yang memperkuat posisi nasi uduk dalam peta sejarah kuliner nasional. Salah satu pusat popularitasnya berada di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang telah dikenal sejak era 1970-an. Dari sanalah nama “Nasi Uduk Kebon Kacang” menjelma menjadi ikon kuliner yang digunakan luas oleh para penjual di Jakarta dan sekitarnya.
Tradisi membungkus nasi uduk dengan daun pisang berbentuk kerucut bukan sekadar teknik penyajian, tetapi juga mencerminkan nilai spiritual dan simbolik. Daun pisang diyakini mampu memperkaya aroma alami nasi, sekaligus menjadi simbol penghormatan terhadap alam dan filosofi hidup sederhana yang dijunjung masyarakat Betawi.
Sebagai makanan yang fleksibel dinikmati kapan saja, nasi uduk kerap menjadi pilihan sarapan, namun juga sering disajikan dalam bentuk tumpeng mini untuk berbagai momen penting seperti ulang tahun, syukuran, hingga acara keagamaan. Di tengah masyarakat Betawi, sepiring nasi uduk bukan sekadar makanan, melainkan wujud rasa syukur atas kehidupan yang bersahaja namun penuh makna.








