NewsRepublik.com, Ekonomi Nilai tukar rupiah kembali berada di zona merah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu, 9 Juli 2025. Mata uang Garuda ditutup melemah 47 poin di level Rp16.252 per dolar AS, dari posisi sebelumnya di Rp16.205. Bahkan, rupiah sempat menyentuh pelemahan hingga 60 poin sepanjang sesi perdagangan.
“Untuk perdagangan besok, rupiah diperkirakan masih akan bergerak fluktuatif dengan kecenderungan ditutup melemah dalam kisaran Rp16.240 – Rp16.300,” ujar Ibrahim Assuaibi, pengamat mata uang, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Pelemahan rupiah terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran pasar atas kebijakan perdagangan terbaru dari Presiden AS, Donald Trump. Pada awal pekan, Trump mulai mengirimkan surat pemberitahuan tarif ke 14 negara—sembilan di antaranya berasal dari kawasan Asia.
Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa produk dari Jepang dan Korea Selatan akan dikenai bea masuk sebesar 25%, sementara beberapa negara lain menghadapi tarif yang lebih tinggi hingga 40%.
Tidak hanya itu, Trump juga mengisyaratkan akan menerapkan tarif sebesar 50% untuk impor tembaga, serta bea masuk baru pada produk semikonduktor dan farmasi, yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025.
Di sisi lain, pelaku pasar juga tengah mencermati risalah rapat Federal Reserve yang dijadwalkan rilis Kamis dini hari pukul 01.00 WIB. Dokumen tersebut diperkirakan akan memberikan sinyal arah kebijakan suku bunga, yang saat ini berada pada kisaran 4,25% – 4,50%.
Sementara itu, dari kawasan Asia, data indeks harga konsumen (CPI) Tiongkok pada Juni 2025 menunjukkan kenaikan tipis, didorong oleh subsidi pemerintah dan meredanya ketegangan dagang AS–Tiongkok.
Survei BI: Masyarakat Makin Pesimistis terhadap Lapangan Kerja dan Penghasilan
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4877931/original/050815100_1719560595-fotor-ai-2024062814402.jpg)
Survei konsumen yang dirilis Bank Indonesia (BI) mengungkap tren kekhawatiran masyarakat yang meningkat terhadap ketersediaan lapangan kerja. Data tersebut juga menunjukkan penurunan ekspektasi penghasilan, mencerminkan tekanan yang kian dirasakan rumah tangga dalam menghadapi dinamika ekonomi saat ini.
“Temuan ini bisa menjadi alarm dini bagi pemerintah mengenai potensi kenaikan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun lonjakan pengangguran dalam waktu dekat,” ujar Ibrahim Assuaibi, pengamat ekonomi, Rabu (9/7/2025).
Menurut Ibrahim, kekhawatiran konsumen terhadap kondisi pasar tenaga kerja tak bisa dianggap sepele. “Ini mencerminkan bahwa masyarakat mulai merasakan atau memproyeksikan tekanan yang lebih nyata, entah akibat rekrutmen yang melambat, peningkatan PHK, ataupun memburuknya kualitas pekerjaan yang tersedia,” ujarnya.
Indeks Lapangan Kerja dan Penghasilan di Zona Pesimis

Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) yang dirilis BI tercatat berada di zona pesimis (di bawah 100), yakni pada angka 94,1 per Juni 2025. Angka ini juga turun dibanding bulan sebelumnya yang berada di level 95,7.
Penurunan juga tercermin pada ekspektasi penghasilan, yang memperkuat keyakinan bahwa masyarakat belum melihat adanya perbaikan signifikan dalam prospek keuangan keluarga mereka.
“Ketika masyarakat melihat bahwa penghasilan cenderung stagnan atau menurun, maka dampaknya akan terlihat dalam perubahan perilaku keuangan rumah tangga,” jelas Ibrahim. “Porsi konsumsi meningkat, sementara tabungan menyusut, ini bisa menandakan dua hal: meningkatnya kebutuhan yang tidak sebanding dengan pendapatan atau berkurangnya kemampuan menabung akibat tekanan ekonomi.”