NewsRepublik.com, F&B Di berbagai negara Asia, terasi bukan hanya menjadi bahan penting dalam masakan, tetapi juga komoditas ekspor bernilai tinggi. Setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri dalam hal warna, tekstur, dan sebutan untuk bumbu fermentasi ini.
Mengutip dari The Woks of Life melalui Tasting Table, Rabu (9/7/2025), bumbu terasi dikenal dengan nama yang berbeda-beda, seperti “ham ha” dalam bahasa Kanton, “mắm tôm” dalam bahasa Vietnam, “terasi” di Indonesia, serta “bagoong” di Filipina.
Di Thailand, terasi disebut “kapi” dan penggunaannya sangat fleksibel, mulai dari campuran dalam kari, saus, hingga sambal. Bumbu ini juga menjadi dasar untuk hidangan nasi goreng dan mie.
Seperti halnya saus atau pasta ikan fermentasi lainnya, terasi memberikan rasa asin bercampur aroma fermentasi yang khas, menambahkan cita rasa umami yang kaya dalam hidangan. Meskipun tren kuliner Barat terus berkembang, penggunaan terasi di Asia Tenggara diperkirakan akan tetap lestari seperti selama ratusan tahun terakhir.
Eksistensi Terasi Sejak Abad ke-8
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4847175/original/044732100_1717024217-red-curry-paste-made-from-chili.jpg)
Secara tradisional, pembuatan terasi telah ada sejak abad ke-8 dan berasal dari wilayah selatan Thailand, di mana udang dipanen, dicampur garam, lalu dikeringkan di atas tikar bambu di bawah sinar matahari hingga mengalami fermentasi, seperti dijelaskan The Spruce Eats.
Setelah proses pengeringan, terasi dapat bertahan berbulan-bulan dan kadang dibentuk dalam balok kering sebelum dijual. Pembuatan terasi bisa dilakukan di rumah, namun memerlukan waktu dan tenaga cukup besar. Untungnya, terasi mudah ditemukan dan harganya terjangkau.
Di Indonesia, terasi merupakan pasta yang terbuat dari fermentasi ikan atau udang, berdasarkan informasi dari situs resmi UGM. Ikan yang umum dipakai adalah ikan asin berukuran kecil, sedangkan untuk udang biasanya menggunakan udang rebon.
Pasta ikan atau udang ini difermentasi selama beberapa minggu hingga menghasilkan aroma kuat yang khas dan menjadi ciri terasi. Meski beraroma tajam, rasanya mampu melekat dan menambah kelezatan masakan.
Terasi di Indonesia: Warisan Kuliner dengan Asal Usul dan Ragam Regional
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3138350/original/052141300_1590646448-Terasi_Cirebon.jpg)
Terasi menjadi salah satu bumbu masakan khas yang identik dengan Kota Cirebon dan kini menjadi oleh-oleh favorit dari daerah tersebut. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)
Kombinasi dan degradasi mikroorganisme memiliki peranan penting dalam pembentukan aroma khas terasi. Selain itu, kandungan lemak dan karbohidrat pada bahan baku juga memengaruhi cita rasa dan aroma bumbu fermentasi ini.
Di Indonesia, terasi diyakini pertama kali diciptakan oleh Pangeran Walangsungsang, salah satu pendiri Kota Cirebon. Bumbu ini dahulu dijadikan upeti dari wilayah Cirebon, yang saat itu termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh.
Raja Galuh dikenal sangat menyukai bumbu penyedap yang saat itu disebut “terasih”. Nama ini berasal dari kata “asih” yang berarti cinta atau suka, dengan imbuhan “ter-” yang menandakan kesukaan yang sangat besar.
Kini, terasi di Indonesia hadir dalam berbagai versi sesuai asal daerahnya. Selain Cirebon, daerah penghasil terasi lainnya yang terkenal adalah Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, di mana sebagian besar masakan khas Lombok menggunakan terasi sebagai bumbu utama.
Di Lombok, terdapat tiga jenis terasi yang dikenal, yakni lengkare — terasi udang rebon berwarna kemerahan; jerowaru — terasi dari udang rebon dengan warna lebih gelap; serta beroq — terasi yang terbuat dari campuran udang dan ikan sehingga memiliki aroma lebih tajam.
Mengonsumsi Terasi dengan Aman
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3978956/original/007665500_1648606257-nam-phrik-kapi-with-chili-lemon-wooden-floor.jpg)
Beberapa penelitian sebelumnya menyarankan agar terasi sebelum dikonsumsi terlebih dahulu digoreng, direbus, atau dibakar, sebagai langkah antisipasi adanya kandungan berbahaya. Kekhawatiran ini terkait dengan potensi adanya bakteri patogen seperti Vibrio parahaemolyticus dan Staphylococcus aureus pada ikan yang menjadi bahan baku terasi.
Namun, studi lebih lanjut menunjukkan bahwa bakteri patogen tersebut tidak ditemukan dalam produk terasi. Menurut Ayanta (2000) yang dikutip dari Japanese Journal of Lactic Acid Bacteria Vol. 10/No. 2/Page: 90-102, terasi aman dikonsumsi selama penyimpanannya dilakukan dalam kondisi yang optimal.
Umur simpan terasi juga perlu diperhatikan. Umumnya, terasi dan bagoong dapat bertahan hingga satu tahun pada suhu ruang, sementara belacan memiliki umur simpan sekitar enam bulan.
Dengan demikian, selama terasi disimpan dalam kondisi yang baik, produk ini aman untuk dikonsumsi. Kualitas terasi yang baik juga dapat dikenali dari aroma khas yang melekat.












