Ekonomi

Setiap Penjual TikTok Shop Sampai Shopee Akan Terkena Potongan Pajak, Ini Kelebihan dan Tantangannya

3
×

Setiap Penjual TikTok Shop Sampai Shopee Akan Terkena Potongan Pajak, Ini Kelebihan dan Tantangannya

Share this article
Setiap Penjual TikTok Shop Sampai Shopee Akan Terkena Potongan Pajak, Ini Kelebihan dan Tantangannya
Setiap Penjual TikTok Shop Sampai Shopee Akan Terkena Potongan Pajak, Ini Kelebihan dan Tantangannya

NewsRepublik.com, Ekonomi – Pemerintah tengah mematangkan aturan anyar yang mewajibkan platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, hingga TikTok Shop untuk memotong dan menyetorkan pajak penghasilan dari para penjual di platform mereka. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi memperkuat penerimaan negara sekaligus menciptakan perlakuan setara antara toko fisik dan toko daring.

Dalam draf kebijakan yang beredar, disebutkan bahwa platform akan dikenakan kewajiban memotong pajak sebesar 0,5% dari omzet penjual yang memiliki pendapatan tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Segmen ini termasuk kategori UMKM, yang memang secara regulasi sudah masuk wajib pajak—hanya saja selama ini mekanismenya dilakukan secara mandiri oleh masing-masing pelaku usaha.

Mengutip laporan The Economic Times, Kamis (26/6/2025), aturan ini kemungkinan diumumkan dalam waktu dekat, seiring turunnya penerimaan negara yang cukup drastis tahun ini. “Ini bagian dari upaya menambal kebocoran pajak sekaligus menata ekosistem ekonomi digital,” ungkap seorang pejabat yang enggan disebutkan namanya.

Meski tujuannya dinilai positif, kebijakan ini menimbulkan pro-kontra. Sejumlah pelaku usaha menilai langkah ini bisa menambah beban operasional platform, memicu eksodus pedagang kecil dari marketplace, hingga menciptakan kekhawatiran terkait kesiapan infrastruktur teknis yang dimiliki masing-masing platform.

Sumber dari internal industri yang turut hadir dalam pertemuan dengan Direktorat Jenderal Pajak menyebut bahwa pihak platform mengajukan keberatan atas potensi beban administratif tambahan yang muncul. Mereka menilai aturan ini bisa mengganggu user experience dan memperlambat pertumbuhan UMKM yang selama ini menjadi motor utama digitalisasi ekonomi Indonesia.

“Kalau sistem belum siap dan terjadi kesalahan pelaporan, platform bisa terkena sanksi. Ini bukan hanya soal potongan 0,5%, tapi bagaimana teknis penerapannya bisa dijalankan secara akurat,” ujar sumber itu.


Pajak E-Commerce Bukan Pajak Baru

Rencana pemerintah untuk mewajibkan platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, hingga TikTok Shop memungut pajak dari para penjual bukanlah upaya menciptakan pungutan baru. Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk mendorong penerimaan negara sekaligus menciptakan kesetaraan perlakuan antara pelaku usaha daring (online) dan luring (offline).

Langkah ini muncul di tengah tingginya pertumbuhan industri e-commerce di Indonesia. Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai transaksi bruto (GMV) sektor e-commerce diperkirakan mencapai USD 65 miliar pada 2024 dan berpotensi melonjak dua kali lipat menjadi USD 150 miliar pada 2030.

Namun, lonjakan transaksi digital tersebut tidak berbanding lurus dengan penerimaan negara. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, sepanjang Januari–Mei 2025, pendapatan negara turun 11,4% menjadi Rp995,3 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu. Penurunan itu antara lain dipengaruhi oleh merosotnya harga komoditas dan kendala administrasi perpajakan.

Menyikapi hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli Simbolon menegaskan bahwa aturan ini tidak menambah beban pajak bagi pelaku usaha. Ketentuan tersebut hanya mengalihkan mekanisme pembayaran dari sistem mandiri ke pemungutan otomatis oleh platform, dalam bentuk PPh Pasal 22.

“Ini bukan jenis pajak baru. Justru memudahkan pelaku UMKM yang sebelumnya harus menghitung dan menyetor sendiri, kini cukup dipotong langsung oleh platform tempat mereka berjualan,” ujar Rosmauli dalam siaran pers, Kamis (26/6/2025).

Ia juga menjelaskan bahwa tarif pajak final sebesar 0,5 persen tetap berlaku bagi UMKM dengan omzet tahunan di bawah Rp4,8 miliar. “Kami ingin menciptakan keadilan dan kesederhanaan, agar pelaku usaha punya kepastian hukum dan administrasi perpajakan yang lebih mudah diakses,” ujarnya.

Tutup Celah Shadow Economy

Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh platform e-commerce bukan hanya soal peningkatan penerimaan negara, tetapi juga strategi untuk menutup celah aktivitas ekonomi tak tercatat atau shadow economy yang masih marak di ranah digital.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli Simbolon menjelaskan bahwa keterlibatan marketplace dalam sistem pemungutan pajak akan mendorong kepatuhan pelaku usaha, khususnya UMKM yang selama ini belum tertib membayar pajak. Hal itu dinilai lebih efisien ketimbang mengandalkan kepatuhan individual yang belum merata.

“Dengan sistem ini, kontribusi pajak akan mencerminkan kapasitas usaha yang sesungguhnya. Marketplace menjadi jembatan untuk memastikan kepatuhan yang lebih adil dan menyeluruh,” kata Rosmauli dalam pernyataan resminya, Kamis (26/6/2025).

Menurut DJP, banyak pelaku usaha online belum membayar pajak bukan karena niat menghindar, tapi karena minim informasi dan merasa proses pelaporan terlalu rumit. Dengan skema pemotongan otomatis, beban administrasi pelaku usaha akan jauh berkurang, sementara pendataan negara jadi lebih akurat.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso turut menanggapi rencana aturan ini. Ia membenarkan bahwa Kementerian Perdagangan terlibat dalam fase awal penyusunan, namun pelaksanaan teknisnya kini menjadi domain penuh Direktorat Jenderal Pajak.

“Prosesnya memang sudah lama dibahas, tapi eksekusinya nanti oleh DJP,” ujar Budi singkat saat ditemui di kantornya, Kamis (26/6/2025).

Soal dampaknya terhadap pelaku e-commerce, Mendag belum mau berspekulasi lebih jauh. “Coba nanti kita lihat,” pungkasnya.


Aturan Pajak E-Commerce Masuki Tahap Finalisasi

Rencana pemerintah untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 melalui platform e-commerce kini memasuki tahap finalisasi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan bahwa proses penyusunan regulasi ini melibatkan meaningful participation dari seluruh pemangku kepentingan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli Simbolon mengatakan bahwa penyusunan aturan ini telah melewati kajian komprehensif bersama pelaku industri niaga elektronik, kementerian/lembaga terkait, hingga asosiasi pelaku usaha.

“Prosesnya dilakukan terbuka dan partisipatif. Semua masukan dikaji untuk memastikan aturan yang disusun tidak memberatkan, tapi tetap efektif untuk memperluas basis pajak nasional,” ujar Rosmauli, Kamis (26/6/2025).

Ia juga mengungkapkan bahwa respons awal dari stakeholder cukup positif. Banyak pihak mendukung niat pemerintah dalam menciptakan tata kelola perpajakan yang lebih adil, terutama untuk menjawab tantangan ekonomi digital yang berkembang sangat cepat.

Menurutnya, ketika regulasi resmi diberlakukan, DJP berkomitmen untuk menginformasikannya secara luas dan transparan. “Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Karena itu, ketika aturan ditetapkan, kami akan menyampaikan secara lengkap dan terbuka kepada publik,” tegas Rosmauli.

Kebijakan ini dinilai sejalan dengan upaya reformasi perpajakan berbasis digital dan menjadi bagian dari strategi nasional dalam menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan penerimaan negara yang menurun.

Respons Marketplace soal Aturan Pajak E-Commerce

Menanggapi rencana pemerintah yang akan memungut Pajak Penghasilan (PPh) dari pelaku usaha melalui platform e-commerce, para pemain besar seperti Tokopedia dan TikTok Shop menyatakan komitmennya untuk mendukung sistem perpajakan yang adil dan transparan.

Dalam pernyataan resminya, juru bicara kedua platform menekankan bahwa jika aturan tersebut disahkan, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan kesiapan teknis serta kapasitas para penjual, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

“Kami berharap implementasinya mempertimbangkan waktu persiapan yang memadai, terutama dalam aspek teknis dan kesiapan para penjual,” ujar perwakilan Tokopedia dan TikTok Shop, Kamis (26/6/2025).

Platform e-commerce itu juga menilai pentingnya edukasi dan sosialisasi yang menyeluruh agar seluruh pengguna—baik penjual maupun pembeli—memahami ketentuan baru dengan baik.

“Kami mendorong adanya edukasi yang luas agar para pelaku UMKM tetap dapat tumbuh dalam ekosistem digital yang sehat dan berkontribusi positif terhadap ekonomi nasional,” lanjutnya.

Sebagai bagian dari dukungan terhadap kebijakan pemerintah, Tokopedia dan TikTok Shop juga menyatakan siap menjalin kerja sama erat dengan Direktorat Jenderal Pajak. Fokusnya adalah pada kesiapan sistem, penyederhanaan administrasi, dan penyampaian informasi yang transparan kepada jutaan penjual di kedua platform tersebut.

Diprediksi Berdampak Langsung ke UMKM Digital

Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, mengungkapkan bahwa rencana pemungutan pajak langsung oleh platform e-commerce terhadap penjual—terutama pelaku UMKM—berpotensi memberikan dampak besar terhadap ekosistem digital nasional.

Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan sosialisasi terbatas kepada sejumlah marketplace terkait rencana tersebut sebagai bagian dari proses implementasi. Salah satu poin krusial adalah kemungkinan penunjukan platform sebagai pemotong Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjual pribadi dengan omzet tertentu.

“Jika ini benar-benar diterapkan, tentu akan memengaruhi jutaan seller yang bergantung pada ekosistem digital, khususnya UMKM,” ujar Budi, Kamis (26/6/2025).

Budi menekankan pentingnya kesiapan menyeluruh dari sisi sistem dan infrastruktur digital yang digunakan oleh platform. Di samping itu, komunikasi dan edukasi kepada para pelaku usaha juga menjadi hal krusial agar tidak terjadi disinformasi atau kesalahan pemahaman terhadap aturan baru tersebut.

“Sebagai asosiasi, kami siap bekerja sama dengan DJP demi memastikan kebijakan ini berjalan adil, transparan, dan dapat mendukung upaya peningkatan kepatuhan pajak nasional,” tegasnya.

idEA Tekankan Kebijakan Pajak E-Commerce Harus Bertahap dan Inklusif

Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menegaskan bahwa kebijakan pemungutan pajak oleh platform e-commerce harus dirancang tanpa menghambat ruang tumbuh pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia.

Ia menyampaikan bahwa penerapan aturan ini perlu dilakukan secara hati-hati dan bertahap, mengingat masih banyak tantangan yang harus diperhatikan, seperti kesiapan UMKM sebagai penjual aktif, kesiapan sistem di platform digital, serta kesiapan dari sisi pemerintah sebagai regulator.

“Penting juga agar proses sosialisasi dilakukan secara luas dan menyeluruh, sehingga pelaku usaha tidak kebingungan dan dapat memahami hak serta kewajibannya secara jelas,” ujar Budi dalam keterangannya, Kamis (26/6/2025).

Budi menambahkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada pendekatan yang kolaboratif dan inklusif, serta komunikasi terbuka antarsemua pihak. Dengan demikian, kebijakan fiskal ini tidak justru menimbulkan gangguan terhadap pertumbuhan ekosistem digital nasional.


Ekonom CELIOS

Direktur Ekonomi Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemungutan pajak dari penjual di platform e-commerce memiliki urgensi tinggi, terutama bagi pelaku usaha dengan omzet besar.

Menurutnya, aturan tersebut adalah langkah logis dan adil untuk menciptakan kesetaraan perlakuan antara penjual online dan offline. “Kalau ada pengusaha dengan omzet Rp1 miliar, masa tidak dikenakan pajak? Tentu harus. Ini sejalan dengan prinsip keadilan fiskal,” ujar Huda di Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Huda menyebut kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk menyamakan level of playing field. Artinya, tidak boleh ada disparitas antara pelaku usaha daring dan luring dalam hal kepatuhan terhadap regulasi negara.

Ia juga menegaskan bahwa ketentuan pungutan pajak 0,5 persen yang menyasar pelaku UMKM dengan omzet tahunan Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar bukanlah kebijakan baru, melainkan implementasi dari ketentuan yang selama ini sudah berlaku namun pelaporannya masih dilakukan secara mandiri.

“Dengan melibatkan platform, sistem jadi lebih transparan dan akuntabel. Ini bukan soal memberatkan, tapi soal penataan yang lebih rapi dalam ekosistem ekonomi digital kita,” tutupnya.

Dinilai Tidak Akan Pengaruhi Harga Secara Signifikan

“Memang penjual kemungkinan besar akan menolak karena harus menyesuaikan harga jual. Tapi, PPh Final 0,5 persen tidak akan terlalu terasa dalam pembentukan harga barang,” ujar Huda, Kamis (26/6/2025).

Ia menekankan bahwa pajak adalah instrumen negara yang seharusnya dijalankan oleh pelaku usaha, terlebih jika omzet mereka sudah masuk dalam kategori pengusaha kena pajak final. Kebijakan ini, menurutnya, adalah langkah wajar untuk memperkuat kepatuhan pajak di sektor digital yang selama ini belum optimal dalam pencatatan dan pelaporan.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa pemerintah perlu memastikan validitas data sebelum menerapkan pemungutan pajak oleh platform. “Harus ada integrasi data agar tidak terjadi dobel pemotongan. Jangan sampai pelapak yang sudah patuh dan terdaftar sebagai PKP malah ikut dipotong lagi,” tegasnya.

Langkah ini, lanjut Huda, harus disertai sosialisasi dan sistem yang transparan demi menjaga kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem perpajakan digital.