NewsRepublik.com, Internasional – Putusan Hakim Burroughs menandai babak baru dalam ketegangan panjang antara administrasi Trump dan sejumlah institusi pendidikan tinggi ternama di Amerika Serikat, khususnya terkait kebijakan imigrasi dan pendidikan internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, Harvard dan universitas-universitas Ivy League lainnya kerap berseberangan dengan kebijakan federal yang dinilai membatasi keragaman dan akses pendidikan bagi mahasiswa asing.
Tak hanya Harvard, beberapa universitas lain termasuk MIT dan Yale dilaporkan tengah mempersiapkan gugatan serupa. Mereka menyatakan bahwa larangan ini tidak hanya berdampak pada kehidupan akademik mahasiswa internasional, tetapi juga pada reputasi global lembaga pendidikan tinggi AS sebagai pusat keilmuan yang inklusif dan terbuka.
“Mahasiswa asing membawa kontribusi besar dalam bentuk ide, riset, dan perspektif global yang memperkaya komunitas kampus,” ujar Profesor Charles Himmelstein dari Departemen Hukum Harvard. “Melarang mereka masuk sama saja seperti menutup jendela terhadap dunia.”
Dukungan dari Komunitas Internasional
Keputusan pengadilan juga disambut baik oleh berbagai lembaga dan pemerintah asing. Beberapa duta besar negara-negara sahabat menyampaikan apresiasi atas langkah hukum Harvard yang dinilai membela hak asasi dan nilai-nilai pendidikan global. Pemerintah Kanada dan Jerman, misalnya, menyebut kebijakan Trump sebagai langkah “diskriminatif” yang berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi pelajar internasional di seluruh dunia.
Sementara itu, organisasi advokasi pendidikan seperti NAFSA (Association of International Educators) menegaskan bahwa pembatasan seperti ini dapat menggerus daya saing universitas Amerika dan mendorong mahasiswa berprestasi untuk memilih negara lain seperti Inggris, Kanada, atau Australia.
Meski saat ini larangan tersebut dihentikan sementara, sidang lanjutan untuk menggugat kebijakan imigrasi ini masih akan berlangsung dalam beberapa pekan ke depan. Keputusan akhir akan menentukan apakah larangan tersebut benar-benar dibatalkan atau akan kembali diberlakukan dalam bentuk kebijakan baru.
Hakim Burroughs menutup putusannya dengan pernyataan tegas bahwa dalam negara hukum, “Tidak ada satu pun lembaga, termasuk kantor eksekutif tertinggi, yang berada di atas konstitusi.”
Konflik Berkepanjangan: Antara Keamanan dan Kebebasan Akademik
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4363973/original/012046500_1679223657-n-beefsteak-a-20171103.jpg)
Pernyataan Donald Trump bahwa larangan tersebut didasari oleh alasan keamanan nasional menambah dimensi baru dalam konflik ini. Dalam keterangannya, Trump menyebut bahwa Harvard memiliki “sejarah radikalisme yang mengkhawatirkan” dan hubungan kerja sama yang tidak transparan dengan pihak asing, khususnya Tiongkok. Ia juga menuduh pihak universitas lalai dalam melaporkan aktivitas ilegal yang dilakukan oleh mahasiswa internasional—klaim yang dibantah keras oleh Harvard sebagai tidak berdasar dan berbahaya.
Trump menyatakan bahwa “langkah ini semata-mata untuk melindungi integritas sistem pendidikan dan keamanan nasional.” Namun para pengamat menilai bahwa retorika tersebut merupakan bagian dari pendekatan politik yang menargetkan lembaga-lembaga progresif yang kerap mengkritik kebijakan pemerintahannya.
Di sisi lain, Harvard secara aktif melawan upaya pemerintah, termasuk dengan mengajukan gugatan terhadap Menteri Keamanan Dalam Negeri, Kristi Noem, yang sebelumnya mencabut sertifikasi Program Mahasiswa dan Pengunjung Pertukaran (SEVP) milik Harvard. Langkah Noem ini, jika tidak diblokir oleh pengadilan, akan membuat universitas tidak lagi memiliki izin untuk menerima mahasiswa internasional.
Hakim Burroughs, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa “intervensi yang terlalu dalam dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan, tanpa dasar hukum yang memadai, berpotensi merusak prinsip-prinsip konstitusional, terutama terkait kebebasan akademik dan hak untuk memperoleh pendidikan.”
Dampak yang Lebih Luas
Kasus ini dinilai bukan sekadar pertarungan antara Harvard dan Gedung Putih, melainkan mencerminkan arah kebijakan imigrasi AS secara keseluruhan. Ribuan mahasiswa internasional kini berada dalam ketidakpastian, dan banyak universitas di seluruh AS tengah bersiap menghadapi kemungkinan pembatasan serupa di masa mendatang.
Kritikus menilai bahwa pembatasan berbasis sentimen politik seperti ini dapat merusak citra global pendidikan tinggi AS yang selama ini dikenal inklusif dan terbuka bagi keberagaman. “Langkah ini bukan hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga membahayakan masa depan keilmuan dan inovasi di Amerika Serikat,” ujar seorang analis kebijakan pendidikan dari Brookings Institution.
Meski proses hukum masih terus berjalan, banyak yang berharap bahwa keputusan akhir dari pengadilan akan memberikan kejelasan hukum dan perlindungan jangka panjang bagi komunitas mahasiswa internasional serta menegaskan pentingnya independensi lembaga pendidikan tinggi dari tekanan politik.