NewsRepublik.com, Lifestyle – Fenomena tren aura farming di TikTok secara tak terduga mengangkat kembali popularitas tradisi pacu jalur asal Riau ke pentas dunia maya. Istilah aura farming, yang belakangan ramai digunakan di kalangan Gen Z, menggambarkan usaha seseorang untuk menciptakan “momen aura” atau citra visual yang estetik dan berkarisma, layaknya tokoh utama dalam sebuah cerita.
Menurut laporan dari Parents, Jumat (4/7/2025), aura merujuk pada kesan visual dan emosional yang memikat, sedangkan farming mengacu pada aktivitas berulang untuk membangun tampilan tersebut—mirip seperti mekanisme permainan video game.
Yang menarik, konsep ini kemudian dikaitkan dengan bocah-bocah pendayung pacu jalur, tradisi lomba mendayung khas Riau yang berlangsung di atas perahu panjang, ramping, dan penuh warna. Dalam cuplikan-cuplikan yang viral, mereka tampil penuh semangat dengan gerakan ikonik memutar tangan dan mengayun tubuh demi menjaga keseimbangan perahu yang melaju cepat. Semua ini dibalut dengan latar lagu “Young Black & Rich” milik Melly Mike, yang menambah kesan heroik sekaligus estetik.
Media Center Pemerintah Provinsi Riau menyambut positif tren tersebut, yang dinilai berhasil memperkenalkan kekayaan budaya lokal ke audiens global melalui pendekatan kreatif dan modern. Kini, pacu jalur bukan hanya sekadar tradisi tahunan, tetapi juga menjadi bagian dari narasi digital generasi muda Indonesia di media sosial.
Mengenal Pacu Jalur
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/963968/original/047076000_1440320994-23082015-festival-pacu-jalur.jpg)
Pacu Jalur merupakan tradisi lomba dayung khas Riau yang kian mendunia, apalagi setelah gerakan ikonis para pendayungnya viral lewat tren aura farming di TikTok. Festival budaya ini rutin digelar setiap bulan Agustus di Tepian Narosa, Taluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, dan telah masuk dalam agenda resmi Kharisma Event Nusantara (KEN) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Secara harfiah, “pacu” berarti berlomba, sedangkan “jalur” merujuk pada perahu panjang yang digunakan dalam perlombaan. Jadi, pacu jalur dapat diartikan sebagai lomba mendayung perahu panjang secara tradisional di Sungai Kuantan.
Ajang ini diawali dengan tiga letupan meriam karbit sebagai aba-aba—langkah penting mengingat luasnya arena dan sorak ribuan penonton yang memadati tepian sungai. Setiap jalur (perahu) biasanya berukuran sekitar 40 meter dan memerlukan biaya pembuatan hingga Rp100 juta, yang didanai secara gotong royong oleh warga setempat.
Masing-masing perahu diisi oleh 50–60 pendayung, lengkap dengan peran spesifik seperti:
-
Tukang concang (pemberi aba-aba irama),
-
Tukang pinggang (pengendali arah perahu),
-
Tukang tari (pendayung depan dengan gerakan khas yang mencuri perhatian),
-
Tukang onjay (pendayung belakang yang menentukan ritme akhir).
Pacu Jalur bukan hanya soal kecepatan, tapi juga seni, kekompakan, dan semangat kolektif. Kini, festival ini tak sekadar jadi ajang olahraga dan budaya, tetapi juga simbol kebanggaan dan identitas masyarakat Kuansing yang berhasil menjangkau dunia berkat kreativitas digital.
Asal-mula Pacu Jalur
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3566753/original/075773700_1631188471-WhatsApp_Image_2021-09-09_at_16.41.20__3_.jpeg)
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Haji Roni Rakhmat, menjelaskan bahwa Pacu Jalur berakar dari tradisi lisan masyarakat Kuantan Singingi. Pada awalnya, jalur—sebutan untuk perahu panjang tradisional itu—bukanlah alat lomba, melainkan sarana transportasi utama menyusuri Sungai Batang Kuantan, dari wilayah hulu hingga Cerenti.
“Karena akses darat belum berkembang saat itu, masyarakat menggunakan jalur sebagai alat angkut utama,” ungkap Haji Roni. Perahu tersebut lazim digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti buah-buahan dan tebu, serta mampu menampung hingga 60 orang per perjalanan.
Seiring waktu, perahu yang semula digunakan untuk kebutuhan sehari-hari itu mulai diberi sentuhan seni lokal. Bagian depan jalur dihias dengan ornamen khas seperti kepala ular, buaya, atau harimau—melambangkan kekuatan dan karakter masyarakat setempat.
Pacu Jalur kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh pemerintah, sebuah pengakuan atas kekayaan tradisi dan nilai sejarah yang melekat di dalamnya.
Menanggapi viralnya Pacu Jalur di media sosial berkat tren aura farming, Haji Roni menyebut momentum ini sebagai peluang emas. “Ini bukti bahwa kearifan lokal kita memiliki daya tarik universal. Ini juga menjadi kesempatan besar untuk mendorong kunjungan wisatawan ke Riau dan menumbuhkan kebanggaan masyarakat terhadap budayanya sendiri,” ujarnya.
Festival Pacu Jalur
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4928414/original/089894800_1724672093-WhatsApp_Image_2024-08-26_at_12.14.43.jpeg)
Festival Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan mendayung, tetapi warisan budaya yang sarat nilai sejarah, spiritual, dan seni. Tradisi ini telah berlangsung sejak era kolonial Belanda, dimulai sekitar tahun 1890. Awalnya, pacu jalur digelar untuk merayakan hari lahir Ratu Wilhelmina yang jatuh pada 31 Agustus.
Setelah Indonesia merdeka, perayaan ini bergeser menjadi bagian dari peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI. Bahkan, dalam perjalanannya, festival ini juga pernah digunakan untuk memperingati hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi, Idulfitri, dan Tahun Baru Islam.
Lebih dari sekadar olahraga tradisional, pacu jalur diyakini sebagai ajang spiritual dan kesenian. Masyarakat percaya kekuatan batin sang pawang sangat menentukan hasil lomba. Hal ini tercermin dalam rangkaian ritual yang dilakukan secara turun-temurun—mulai dari pemilihan kayu untuk jalur, proses pembuatan perahu, hingga tahapan penarikan dan hari perlombaan.
Pada penyelenggaraan tahun lalu, festival ini berlangsung pada 21–25 Agustus 2024 dengan diikuti 225 jalur. Hadiah yang disediakan pun cukup besar. Juara 1 meraih Rp70 juta, diikuti Juara 2 dengan Rp60 juta, Juara 3 sebesar Rp50 juta, Juara 4 Rp40 juta, dan Juara 5 Rp30 juta. Sementara itu, Juara 6 memperoleh Rp20 juta, dan peringkat 7 hingga 15 masing-masing mendapatkan Rp10 juta.
Tiap tim jalur juga memberikan kontribusi sebesar Rp1 juta sebagai bagian dari pendanaan acara. Total hadiah yang digelontorkan untuk festival ini mencapai Rp215 juta, menunjukkan dukungan besar dari masyarakat dan pemerintah daerah untuk melestarikan tradisi ini.
Kini, dengan popularitas yang kembali naik lewat media sosial seperti TikTok, Festival Pacu Jalur tak hanya menjadi kebanggaan Riau, tetapi juga simbol warisan budaya Indonesia yang mendunia.