NewsRepublik.com, Pariwisata – Sebuah analisis terbaru yang dirilis oleh UNESCO dan World Resources Institute (WRI) mengungkap bahwa 73 persen Situs Warisan Dunia menghadapi ancaman serius akibat bencana terkait air, mulai dari banjir sungai dan pesisir, hingga kekeringan ekstrem dan tekanan air yang meningkat.
Dalam laporan yang dikutip dari situs resmi UNESCO, Rabu (9/7/2025), disebutkan bahwa bencana berbasis air telah menyumbang lebih dari 90 persen dari seluruh bencana global sejak 1970. Bencana-bencana ini telah menelan lebih dari dua juta jiwa dan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 3,6 triliun dolar AS, menurut data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Situs Warisan Dunia—baik yang berupa keajaiban alam, situs budaya, hingga struktur teknik bersejarah—tak luput dari ancaman tersebut. Dari sistem kanal kuno hingga lanskap geologi berusia ribuan tahun, semua menunjukkan interaksi manusia dengan lingkungan yang kini makin tertekan akibat perubahan iklim dan degradasi lingkungan.
UNESCO menyerukan penguatan manajemen sumber daya air sebagai langkah mendesak untuk melindungi warisan sejarah dan budaya umat manusia, serta ekosistem dan komunitas lokal yang menggantungkan hidup pada situs-situs ini.
Tekanan Air Ancam Ratusan Situs Warisan Dunia UNESCO
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4507693/original/093733900_1689817118-000_33PC327.jpg)
Meskipun air menjadi elemen vital bagi banyak Situs Warisan Dunia UNESCO—baik secara ekologis maupun budaya—ketidakseimbangannya justru kini menimbulkan ancaman serius. Situs-situs ini kini terjepit di antara dua ekstrem: banjir besar dan kekeringan parah, yang semakin memburuk akibat perubahan iklim, urbanisasi masif, rekayasa aliran sungai, hingga eksploitasi air di hulu.
Wilayah seperti Timur Tengah, Afrika Utara, sebagian Asia Selatan, dan China bagian utara menjadi kawasan yang paling rentan terhadap tekanan ini.
“Atlas Risiko Air Saluran Air memberi kita gambaran penting tentang bagaimana risiko air berkembang secara global,” ujar Samantha Kuzma, Pimpinan Data Saluran Air di World Resources Institute (WRI). Menurutnya, data ini menjadi dasar penting untuk mengambil kebijakan yang tepat, khususnya oleh pengelola situs, pemerintah, hingga komunitas lokal.
UNESCO mencatat bahwa sekitar 600 Situs Warisan Dunia kini berada dalam kondisi terpapar kelangkaan air, termasuk stres air dan kekeringan ekstrem. Risiko ini menjadi yang paling meluas, mempengaruhi hampir setengah dari seluruh situs warisan. Tak kurang dari 90 persen di antaranya adalah situs budaya, seperti bangunan bersejarah, sistem irigasi kuno, dan kota tua.
Diperlukan tindakan global yang terkoordinasi untuk menjaga situs-situs warisan ini tetap lestari bagi generasi mendatang.
Bencana Air Rusak Ekosistem
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2996224/original/095694200_1576306219-20191210-Air-Terjun-Victoria-Mengering-Akibat-Perubahan-Iklim-AFP-3.jpg)
Tak hanya situs budaya, situs alami yang masuk dalam daftar Warisan Dunia UNESCO juga mengalami tekanan serius akibat perubahan pola air global. Ketidakseimbangan ini mengancam ekosistem rapuh dan keanekaragaman hayati yang selama ini menjadi bagian penting dari identitas dan nilai universal situs-situs tersebut.
Contohnya, Ahwar di Irak Selatan dan Mosi-oa-Tunya (Air Terjun Victoria) di Zambia telah mengalami kekeringan parah berkepanjangan sejak 2020. Kekeringan semacam ini tidak hanya menurunkan kualitas lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko kebakaran hutan yang menghancurkan.
Di kawasan seperti Area Konservasi Pantanal di Brasil dan Taman Nasional Noel Kempff Mercado di Bolivia, kekeringan memicu kebakaran besar yang menimbulkan kerugian besar terhadap flora, fauna, serta masyarakat lokal yang bergantung pada keseimbangan alam di sana.
Tak kalah mengkhawatirkan, sekitar 400 situs warisan dunia kini juga rentan terhadap banjir besar—baik dari sungai maupun pesisir. Bencana ini tak pandang bulu, menghantam baik situs alami maupun situs budaya, dan mempercepat kerusakan struktur maupun lanskap.
Setidaknya 50 situs dikategorikan dalam risiko tinggi terhadap banjir pesisir. Salah satu contohnya adalah Kompleks Monumen Hué di Vietnam, yang mengalami banjir berulang kali dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya, kerusakan pada situs warisan ini terus memburuk, mempercepat erosi nilai sejarah dan arsitektur yang dilindungi.
Temuan ini menegaskan bahwa penguatan ketahanan terhadap air menjadi prioritas mendesak. Perlindungan terhadap Situs Warisan Dunia harus memperhitungkan aspek perubahan iklim, manajemen air terpadu, serta pelibatan komunitas lokal dalam menjaga warisan bersama umat manusia.
Solusi Tetap Ada
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3397700/original/085054500_1615349236-20210310-Patung-Buddha-Taliban-5.jpg)
Meski tantangan yang dihadapi Situs Warisan Dunia UNESCO sangat nyata dan kompleks, harapan tetap ada. Sejumlah langkah dan kolaborasi telah terbukti berhasil meredam risiko dan membangun ketahanan terhadap ancaman air.
UNESCO, bersama mitra globalnya, telah menjalankan berbagai inisiatif responsif dan preventif. Melalui instrumen seperti World Heritage Fund, Fasilitas Respons Cepat (Rapid Response Facility – RRF), serta Dana Darurat Warisan (Heritage Emergency Fund – HEF), bantuan darurat bisa segera disalurkan ke situs-situs yang terancam. Selain itu, misi ahli dalam kerangka Pemantauan Reaktif turut membantu dalam memberikan penilaian dan panduan langsung di lapangan.
Upaya ini diperkuat oleh program jangka panjang, seperti Program Hidrologi Antarpemerintah (IHP), yang memberikan pengembangan kapasitas dan dukungan teknis bagi pengelola situs. Tujuannya bukan hanya pemulihan pasca-bencana, tapi juga pengurangan risiko secara berkelanjutan, serta pengelolaan air yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Salah satu strategi yang semakin diadopsi adalah Integrated Water Resources Management (IWRM) atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Pendekatan ini mendorong koordinasi antara pengelolaan air, lahan, dan sumber daya terkait agar tidak saling bertentangan dan mampu menunjang keberlangsungan warisan dunia.
Menariknya, pengetahuan tradisional dan kearifan lokal juga terbukti ampuh dalam merawat kelestarian situs. Banyak komunitas adat dan masyarakat lokal yang selama ratusan tahun hidup berdampingan dengan alam, kini kembali dilibatkan sebagai aktor utama konservasi. Kolaborasi antara masyarakat lokal, pemerintah, dan organisasi internasional telah menciptakan banyak inisiatif konservasi berbasis komunitas yang tangguh dan berkelanjutan.
Semua ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap Situs Warisan Dunia tidak hanya soal teknologi dan dana, tapi juga soal sinergi lintas batas, lintas ilmu, dan lintas generasi.
 
  
 
   
									










