NewsRepublik.com, Sejarah – Amerika Serikat diguncang duka mendalam setelah serangkaian aksi terorisme mengguncang New York pada 11 September 2001. Lebih dari 3.000 orang menjadi korban jiwa dalam peristiwa yang menjatuhkan menara kembar World Trade Center.
Tidak hanya di New York, markas pertahanan AS, Pentagon, turut mengalami kerusakan berat akibat ditabrak salah satu dari empat pesawat komersial yang dibajak pelaku. Sementara itu, sebuah pesawat lain dilaporkan jatuh di area perladangan dekat Pittsburgh. Peristiwa tersebut, sebagaimana dilaporkan BBC, Kamis (11/9/2025), menjadi salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah modern Amerika.
Sebagai respons, pemerintah AS memberlakukan status darurat di Washington D.C., menutup seluruh ruang udara nasional, serta menghentikan akses lintas perbatasan dengan Kanada dan Meksiko. Di sisi lain, militer meningkatkan kesiapsiagaan, dengan Pentagon mengerahkan armada tempur laut di pesisir timur guna memperkuat sistem pertahanan udara.
Ledakan dan Runtuhnya Menara Kembar

Pagi 11 September 2001 menjadi momen kelam ketika American Airlines Penerbangan 11 dibajak sekitar pukul 08.25 waktu setempat. Hanya 18 menit kemudian, pesawat itu menabrak menara utara World Trade Center di New York.
Tidak lama berselang, pada pukul 09.03, United Airlines Penerbangan 175 yang juga dibajak menghantam menara selatan. Dentuman keras dan api yang membubung tinggi terekam kamera televisi yang sejak awal menyorot kondisi menara utara pasca-serangan pertama.
Tragedi berlanjut pada pukul 09.40, ketika American Airlines Penerbangan 77 menabrak sisi Gedung Pentagon di Washington D.C., markas besar militer Amerika Serikat.
Sekitar satu jam setelah benturan di menara selatan, bangunan setinggi 110 lantai itu roboh seketika. Menara utara kemudian ikut runtuh tak lama kemudian, meninggalkan kehancuran besar dan memperparah jumlah korban jiwa.
Beberapa saksi mata melaporkan adanya orang-orang yang nekat melompat dari ketinggian menara sebelum gedung ambruk.
Presiden Bush Dievakuasi ke Pusat Komando Strategis

Ketika serangan teror 11 September berlangsung, Presiden Amerika Serikat George W. Bush tengah menghadiri kegiatan membaca buku bersama siswa sekolah dasar di Florida. Sesaat setelah mendapat laporan dari kepala staf mengenai serangan yang menimpa New York, Bush segera diamankan menuju Pusat Komando Strategis AS di Nebraska, markas yang mengendalikan sistem persenjataan nuklir negara tersebut.
Setelah situasi dinilai terkendali, Bush kembali diterbangkan ke Washington D.C. dan dijadwalkan memberikan pidato resmi kepada rakyat Amerika pada malam harinya.
Di sisi lain, Wali Kota New York saat itu, Rudy Giuliani, menyampaikan peringatan keras terkait kemungkinan tingginya jumlah korban.
“Jumlah korban mungkin lebih dari yang bisa kita tanggung,” ujarnya.
Latar Belakang Tragedi 11 September

Serangan bunuh diri pada 11 September 2001 menewaskan sekitar 3.000 orang. Proses pembersihan puing di Ground Zero, lokasi berdirinya menara kembar WTC, berlangsung hampir sembilan bulan mengingat besarnya volume reruntuhan.
Penelusuran aparat keamanan Amerika kemudian melahirkan penyelidikan kriminal terbesar sepanjang sejarah negara itu. Hasilnya, para pembajak berhasil diidentifikasi dan dikaitkan dengan jaringan al-Qaeda, kelompok ekstremis yang dipimpin Osama bin Laden.
Merespons tragedi tersebut, Presiden George W. Bush mendeklarasikan “perang global melawan teror.” Pada 8 Oktober 2001, militer Amerika Serikat bersama Inggris meluncurkan serangan terhadap sejumlah target di Afghanistan, lokasi yang diyakini menjadi tempat persembunyian Bin Laden.
Meski rezim Taliban cepat tumbang di hadapan kekuatan militer koalisi, Bin Laden tetap lolos dan menjadi buronan bertahun-tahun.
Kebijakan antiteror Bush kemudian meluas hingga ke Irak. Pada Maret 2003, Amerika Serikat bersama sekutu utamanya, Inggris, melancarkan invasi besar-besaran ke negara tersebut.