Sejarah

21 September 1915: Pria Inggris Bikin Geger karena Pulang Membawa Stonehenge

15
×

21 September 1915: Pria Inggris Bikin Geger karena Pulang Membawa Stonehenge

Share this article
21 September 1915: Pria Inggris Bikin Geger karena Pulang Membawa Stonehenge
Stonehenge, England. (Photo: Sung Shin/Unsplash)

NewsRepublik.com, Sejarah – Nama Cecil Chubb kembali mencuat dalam catatan sejarah Inggris. Pengacara kaya raya itu awalnya hanya diminta sang istri untuk membeli kursi makan, namun yang dibawanya pulang justru salah satu situs prasejarah paling ikonik di dunia: Stonehenge.

Peristiwa itu terjadi pada 21 September 1915. Kala itu, Chubb menghadiri lelang di Palace Theatre, Salisbury, Inggris. Niatnya sekadar mencari barang dengan harga miring. Namun suasana berubah ketika juru lelang, Howard Frank, mengumumkan lot nomor 15: “Stonehenge dengan lahan sekitar 30 hektare.”

Sulit dibayangkan, monumen kuno yang kini masuk daftar Warisan Dunia UNESCO tersebut ternyata pernah dilelang secara terbuka. Lebih mengejutkan lagi, tawaran awal sebesar 5.000 pound sterling justru tidak mendapat respons, dikutip dari History, Minggu (21/9/2025).

“Pasti ada yang mau memberi saya 5.000 pound sterling (Rp111 juta),” kata Howard Frank ketika ruangan hening.

Ia menambahkan, bila tak ada yang berani menawar lebih tinggi, harga tetap akan dipatok pada 5.000 pound sterling.

Momen itu membuat tangan Cecil Chubb terangkat. Ia menawar 6.600 pound sterling—jumlah yang setara dengan lebih dari Rp19 miliar saat ini—dan resmi menjadi pemilik Stonehenge.

“Saat berada di ruangan itu, saya pikir seharusnya orang Salisbury yang membelinya. Jadi, saya lakukan,” ujar Chubb kepada media lokal.


Monumen yang Terlupakan

Inggris,Stonehenge,Today in History,UNESCO,warisan dunia,cecil chubb
Seorang anggota staf membersihkan batang kayu Zaman Perunggu berusia 4000 tahun dari lingkaran kayu yang dikenal sebagai Seahenge, dari Norfolk, Inggris, yang dipamerkan di pameran ‘The World of Stonehenge’ di British Museum di London, Senin (14/2/2022). (AP Photo/Alastair Grant)

Pada masa itu, kondisi Stonehenge jauh dari megah seperti yang dikenal saat ini. Selama berabad-abad, para pengunjung kerap mencungkil bagian batu untuk dijadikan kenang-kenangan. Bahkan, pada tahun 1900, salah satu batu besar sempat ambruk, sementara beberapa lainnya hanya bisa bertahan berkat penyangga kayu.

Upaya perawatan baru benar-benar terlihat ketika situs ini berada di bawah kepemilikan keluarga Antrobus. Saat itulah Stonehenge dipagari, dan pengunjung mulai dikenakan biaya masuk sebesar satu shilling. Dana tersebut digunakan untuk membayar penjaga serta melakukan perbaikan dasar.

Namun, situasi berubah pada 1915. Sir Edmund Antrobus meninggal dunia, sementara putranya tewas dalam Perang Dunia I. Tak ada lagi ahli waris yang mengelola, hingga akhirnya Stonehenge dilelang ke publik.

Hadiah untuk Bangsa

Meski sempat tercatat sebagai pemilik pribadi, Cecil Chubb akhirnya memilih menyerahkan Stonehenge kepada rakyat Inggris pada Oktober 1918.

Konon, keputusan tersebut juga dipengaruhi sang istri, Mary, yang kurang senang karena suaminya pulang dari lelang tanpa kursi makan yang ia pesan.

Dalam pengumuman resminya, Chubb menuliskan sebuah surat yang menggambarkan betapa berartinya situs prasejarah itu bagi dirinya.

“Stonehenge adalah monumen nasional paling terkenal dan selalu memikat imajinasi orang Inggris. Saya tumbuh besar di dekatnya dan sering berkunjung di berbagai kondisi cuaca. Saya senang bisa memilikinya, tapi saya tahu bangsa ini akan lebih merawatnya,” tulis Chubb dalam surat tersebut.

Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah Inggris melakukan restorasi besar pada 1919. Hingga kini, upaya pemulihan lanskap di sekitar Stonehenge terus dijalankan agar situs itu tetap terjaga.

Atas kontribusinya, Chubb dianugerahi gelar First Baronet of Stonehenge. Namun, masyarakat setempat lebih akrab menyebutnya sebagai Viscount Stonehenge.

Saat ia wafat pada 1934, Chubb meninggalkan warisan berharga: aturan yang menjamin warga lokal bisa masuk ke Stonehenge secara gratis. Tradisi itu masih berlaku hingga hari ini, memungkinkan sekitar 30 ribu orang setiap tahun menikmati situs bersejarah tersebut tanpa biaya—semua berawal dari keputusan impulsif seorang pengacara seabad silam.