NewsRepublik.com, Kesehatan – Anemia atau kondisi kekurangan darah merupakan gangguan kesehatan yang ditandai dengan rendahnya jumlah sel darah merah dalam tubuh. Kondisi ini berdampak pada distribusi oksigen ke seluruh organ, sehingga memengaruhi kinerja tubuh secara keseluruhan.
Penyebab anemia sangat beragam, mulai dari defisiensi nutrisi hingga penyakit kronis. Memahami gejala serta penyebabnya menjadi langkah penting untuk mencegah komplikasi yang lebih serius.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan, dr. Andi Khomeini Takdir Haruni, SpPD(K), mengungkapkan bahwa anemia terjadi saat jumlah sel darah merah sehat berada di bawah batas normal.
“Anemia itu sebenarnya definisinya adalah berkurangnya jumlah sel darah merah yang sehat di dalam tubuh,” ujar dr. Khomeini atau yang akrab disapa dr. Koko, dalam sebuah talkshow bersama Kementerian Kesehatan RI, Rabu (18/6).
Jika tidak segera ditangani, anemia dapat memunculkan sejumlah gejala seperti mudah lelah, lemas, hingga gangguan konsentrasi.
Anemia Tak Selalu Berkaitan dengan Faktor Keturunan
Banyak masyarakat masih memiliki anggapan keliru bahwa anemia merupakan kondisi bawaan. Padahal, menurut dr. Koko, sebagian besar kasus justru disebabkan oleh pola hidup yang kurang sehat.
Kekurangan zat besi, vitamin B12, serta asam folat menjadi penyebab anemia yang paling umum. Selain itu, infeksi cacing yang masih menjadi persoalan di beberapa daerah juga turut menyumbang angka kasus anemia akibat penyerapan nutrisi yang terganggu.
Meski faktor genetik seperti thalassemia dan sickle cell anemia memang ada, namun mayoritas kasus disebabkan oleh pola makan yang tidak seimbang. Artinya, anemia bukan hanya penyakit bawaan, tapi juga kondisi yang bisa dicegah lewat gaya hidup sehat.
Kelompok Rentan Anemia Tak Selalu Tampak dari Luar
Anemia dapat menyerang siapa saja, bahkan individu yang terlihat sehat secara fisik. Dr. Koko mengungkapkan, banyak pasien yang secara kalori sudah mencukupi dan memiliki berat badan ideal, namun tetap mengalami kekurangan zat besi.
“Sekarang pasien saya banyak yang secara kalori cukup, berat badan juga normal, tapi ternyata kurang zat besi. Kalau ditelusuri, pola makannya jarang sayur, malas makan ikan. Gula, lemak, dan tepung-tepungan malah berlebihan, tapi zat gizi mikronya justru kurang,” jelasnya.
Kebiasaan konsumsi makanan olahan dan minim sayur serta protein hewani menjadi salah satu faktor risiko utama. Hal ini menandakan bahwa kualitas makanan yang dikonsumsi lebih penting dibanding kuantitasnya saja.
Kelompok yang paling rentan antara lain remaja dan ibu hamil, yang memerlukan asupan nutrisi lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya.
Pola Makan Tidak Seimbang Jadi Biang Keladi
Pola makan yang tidak seimbang menjadi akar dari tingginya angka anemia di masyarakat. Dr. Koko menyoroti rendahnya pemahaman masyarakat terhadap literasi gizi sebagai salah satu penyebab utama.
Kebanyakan orang hanya fokus pada jumlah kalori, tanpa memperhatikan kandungan mikronutrien yang dibutuhkan tubuh. Akibatnya, makanan instan dan olahan kerap menjadi pilihan karena praktis, namun minim nilai gizi.
Peningkatan edukasi gizi, khususnya kepada remaja dan ibu muda, dinilai penting untuk membentuk kesadaran akan pentingnya asupan seimbang. Konsumsi makanan bergizi seperti sayuran hijau, hati ayam, dan kacang-kacangan sangat dianjurkan guna mencegah anemia.
Dampak Serius Anemia Tak Bisa Diabaikan
Jika dibiarkan, anemia dapat menimbulkan konsekuensi kesehatan jangka panjang. Pada anak-anak, kondisi ini bisa mengganggu tumbuh kembang. Sementara pada orang dewasa, anemia bisa menurunkan tingkat produktivitas.
Kondisi ini juga berbahaya bagi ibu hamil karena meningkatkan risiko komplikasi saat persalinan. Oleh karena itu, langkah pencegahan melalui pola makan sehat sangat krusial.
Masyarakat perlu memahami bahwa makanan bukan sekadar soal kenyang, melainkan juga tentang kualitas kandungan gizi. Untuk kelompok rentan, suplementasi zat besi dapat diberikan sesuai anjuran dari tenaga kesehatan.
“Literasi gizi itu kunci. Masyarakat harus tahu bahwa makanan bukan cuma soal kenyang, tapi soal kualitas gizi,” tegas dr. Koko.