Internasional

Antrean Bantuan Berujung Tragedi, Remaja Gaza Tewas Ditembak Saat Cari Makanan

26
×

Antrean Bantuan Berujung Tragedi, Remaja Gaza Tewas Ditembak Saat Cari Makanan

Share this article
Antrean Bantuan Berujung Tragedi, Remaja Gaza Tewas Ditembak Saat Cari Makanan
Kerumunan besar warga menanti dengan penuh harap pembagian bantuan bahan pangan berupa tepung. (BASHAR TALEB/AFP)

NewsRepublik.com, Internasional – Tragedi kembali menyelimuti Gaza. Sekitar sepekan lalu, Mahmoud Qassem kehilangan putranya, Khader, yang baru berusia 19 tahun. Khader dilaporkan tewas saat mencoba mencapai pusat distribusi bantuan pangan yang dikelola Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga bantuan yang didukung oleh Amerika Serikat, di wilayah Gaza tengah.

“Terakhir kali saya dan ibunya mendengar kabar darinya sekitar pukul 11 malam. Ia mengatakan berada di tempat aman dan hendak menuju pusat distribusi Netzarim. Saya sempat berpesan agar berhati-hati,” ungkap Qassem dalam wawancara dengan DW dari sebuah tenda pengungsian di Kota Gaza.

Namun, kekhawatiran mulai menyelimuti keluarga saat upaya menghubungi Khader kembali pada pukul satu dini hari tidak berhasil karena ponselnya tak lagi aktif. “Tidak ada kabar apa pun sampai Jumat siang pukul dua. Rasanya seperti dada saya terbakar,” tuturnya pilu, dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (5/7/2025).

Qassem kemudian mencari informasi ke sejumlah rumah sakit di Gaza tengah. Di sanalah ia mendapat kepastian memilukan: Khader ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Jenazahnya baru berhasil ditemukan setelah ada koordinasi dengan militer Israel. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Khader meninggal akibat beberapa luka tembak.

“Anak berusia 19 tahun yang bahkan belum sempat memulai hidupnya, tewas hanya demi satu kotak bantuan,” ujar Qassem, nyaris tak mampu menahan tangis. Ia mengaku sempat melarang Khader berangkat malam itu, namun sang anak merasa bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga.

“Saya kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kondisi di sini. Orang-orang rela mempertaruhkan nyawa hanya untuk bertahan hidup. Hanya Tuhan yang tahu penderitaan kami. Tidak ada yang peduli—tidak Hamas, tidak Israel, tidak negara-negara Arab, tidak satu pun,” tutupnya penuh luka.


Kelangkaan Bantuan di Gaza Kian Parah

Krisis kemanusiaan di Gaza terus memburuk seiring dengan kelangkaan makanan dan bantuan dasar lainnya. Laporan kekerasan, korban luka, hingga tewasnya warga dalam antrean bantuan kini menjadi kejadian nyaris setiap hari, mencerminkan kenyataan getir yang dihadapi oleh 2,3 juta penduduk Gaza yang hampir sepenuhnya bergantung pada pasokan melalui perbatasan Israel.

Sejak Oktober 2023, mayoritas warga Gaza telah mengungsi. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat, sekitar 57.000 orang—termasuk perempuan dan anak-anak—tewas dalam serangan Israel. Analisis terakhir pada Mei lalu menunjukkan bahwa 93 persen populasi yang tersisa kini mengalami kerawanan pangan akut.

Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah kembali menyalurkan bantuan dan membuka tiga pusat distribusi baru yang dikelola Gaza Humanitarian Foundation (GHF)—lembaga bantuan yang mendapat dukungan AS dan Israel—kelangkaan tetap berlangsung akibat blokade yang telah diterapkan Israel selama hampir tiga bulan.

Pemerintah Israel menyatakan blokade dilakukan untuk mencegah Hamas menyalahgunakan bantuan demi kepentingan militernya. Namun, klaim tersebut dibantah oleh PBB serta sejumlah lembaga kemanusiaan internasional dan lokal yang selama ini memiliki jaringan distribusi bantuan yang mapan di wilayah tersebut.

Di tengah kekacauan, truk-truk bantuan sering kali dijarah, baik oleh kelompok bersenjata maupun warga sipil yang putus asa dan kelaparan. Sementara itu, militer Israel terus menggencarkan serangan udara dan menerbitkan perintah evakuasi massal di sebagian besar wilayah utara dan selatan Gaza.

Saeed Abu Libda, seorang ayah lima anak berusia 44 tahun, mengisahkan bagaimana ia berhasil merebut satu karung tepung dari sebuah truk bantuan di Khan Younis. “Saya tahu ini berisiko, tapi kami harus makan,” ujarnya dalam wawancara melalui sambungan telepon dengan DW, mengingat jurnalis asing masih dilarang masuk ke Gaza.

Menurut Saeed, ribuan orang berkumpul menanti bantuan ketika terdengar dua kali tembakan. “Saya melihat orang-orang roboh ke tanah, ada yang terluka, bahkan tubuh yang hancur berkeping. Saya sendiri terkena serpihan peluru di bagian perut, tapi Alhamdulillah hanya luka ringan,” tuturnya.


Ratusan Warga Gaza Tewas Saat Antre Bantuan

Kementerian Kesehatan Gaza, yang berada di bawah otoritas Hamas, melaporkan lebih dari 500 warga sipil tewas dalam beberapa pekan terakhir akibat serangan udara, tembakan, dan pengeboman yang dilakukan Israel. Mayoritas korban disebut tewas saat berada di lokasi distribusi bantuan atau di sekitar truk pengangkut makanan.

Namun klaim tersebut dibantah keras oleh Kementerian Luar Negeri Israel. Dalam pernyataan melalui media sosial X pada Selasa (1/7), Israel menuding Hamas sengaja menembaki warganya sendiri guna menyebarkan informasi keliru kepada publik internasional.

Menurut Israel, kesaksian warga Gaza menunjukkan bahwa Hamas telah “menyebarkan tuduhan palsu terhadap Pasukan Pertahanan Israel (IDF), melebih-lebihkan jumlah korban, serta menyebarkan rekaman video yang direkayasa.”

Kondisi di lapangan turut menimbulkan kekhawatiran dari kalangan organisasi kemanusiaan internasional. Sekitar 130 LSM global, termasuk Oxfam dan Save the Children, menyerukan agar Gaza Humanitarian Foundation (GHF)—lembaga bantuan asal AS dan Israel—menghentikan sementara operasi distribusi. Mereka menuding GHF memaksa ribuan warga kelaparan memasuki zona militer yang rawan tembakan saat mengakses bantuan.

Menanggapi desakan tersebut, Direktur GHF Johnnie Moore menolak menghentikan operasi. Dalam konferensi pers di Brussels, Rabu (2/7), ia mengklaim bahwa lembaganya telah menyalurkan lebih dari 55 juta porsi makanan dan terbuka untuk bekerja sama dengan PBB serta lembaga bantuan lainnya.

Moore juga menanggapi laporan korban di pusat distribusi. “Kementerian Kesehatan Gaza hampir setiap hari mengaitkan korban sipil dengan aktivitas distribusi kami. Tapi sejauh ini, kami tidak pernah mengalami satu pun insiden kekerasan di pusat distribusi yang kami kelola,” tegasnya.

Di sisi lain, militer Israel (IDF) mengakui telah melepaskan tembakan peringatan kepada warga yang mendekati zona militer di sekitar pusat distribusi bantuan. Namun IDF belum mengumumkan data resmi terkait jumlah korban akibat tindakan tersebut.

Surat kabar Israel Haaretz pada 27 Juni melansir laporan yang menyebut militer Israel telah diberi lampu hijau untuk menembaki warga sipil yang berkumpul di dekat pusat distribusi makanan, guna menjauhkan mereka dari posisi militer di zona terlarang. Dalam laporan itu, seorang tentara yang tak disebutkan namanya mengaku pasukannya menembaki warga tak bersenjata meski tidak menunjukkan ancaman langsung.

Haaretz juga mengungkap bahwa militer tengah menyelidiki dugaan pelanggaran hukum internasional yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.

Pemerintah Israel merespons laporan itu dengan nada keras. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menyebut laporan Haaretz sebagai “kebohongan berbahaya yang mencemarkan nama baik IDF, militer paling bermoral di dunia,” demikian bunyi pernyataan bersama mereka.

IDF pun menegaskan bahwa tidak pernah ada perintah untuk secara sengaja menargetkan warga sipil, termasuk mereka yang mendekati pusat distribusi bantuan.

Meski demikian, tiga hari setelah pernyataan itu, militer Israel mengumumkan langkah penyesuaian di lapangan. Berdasarkan “pelajaran yang dipetik,” IDF menyatakan akan merestrukturisasi jalur distribusi bantuan, membangun pos pemeriksaan tambahan, serta memasang sinyal peringatan untuk meminimalkan gesekan dengan warga sipil dan melindungi personel di lapangan.

GHF menyatakan bahwa tuduhan mengenai penggunaan kekuatan mematikan terhadap warga sipil merupakan hal yang “terlalu serius untuk diabaikan” dan mendesak agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

Bertaruh Nyawa Demi Bertahan Hidup

Di tengah kepungan konflik yang tak kunjung usai, warga Palestina di Gaza terpaksa mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan bantuan. Banyak di antara mereka harus menempuh perjalanan berjam-jam melintasi medan berbahaya untuk mencapai pusat distribusi yang sering kali terletak di zona militer Israel.

Tak hanya lokasi yang sulit dijangkau, pusat distribusi bantuan pun hanya dibuka dalam waktu singkat. Informasi mengenai titik kumpul aman kerap simpang siur dan minim kejelasan, menambah kerentanan bagi warga yang sudah kelelahan dan kelaparan.

“Jalan ke sana sangat berbahaya. Saya berusaha keras tetap berada di jalur utama agar bisa sampai,” ungkap Ahmed Abu Raida kepada DW melalui sambungan telepon dari Mawasi, Gaza selatan. Saat ini, Ahmed tinggal di sebuah tenda bersama keluarga besarnya.

Ia mengatakan, warga sering kali harus menunggu berjam-jam tanpa kepastian hanya untuk mengetahui kapan bantuan atau layanan kesehatan akan tersedia. “Selama kami menunggu, suara tembakan terdengar dari berbagai arah,” tuturnya.

Ahmed menegaskan, bantuan yang diterima sangat minim. “Kami hanya menerima cukup untuk tetap hidup,” ujarnya singkat.