Politik

PKB Kritik Putusan Pemilu Terpisah, Sebut MK Berubah Jadi Pembentuk UU Ketiga

40
×

PKB Kritik Putusan Pemilu Terpisah, Sebut MK Berubah Jadi Pembentuk UU Ketiga

Share this article
PKB Kritik Putusan Pemilu Terpisah, Sebut MK Berubah Jadi Pembentuk UU Ketiga
Mahkamah Kontitusi (MK) membuka pendaftaran permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024. Pendaftaran dibuka setelah KPU resmi mengumumkan hasil Pemilu 2024.

NewsRepublik.com, Politik – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah terus mendapat sorotan dari kalangan politikus. Salah satu kritik tajam disampaikan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammad Khozin.

Menurut Khozin, MK telah bertransformasi dari lembaga penguji konstitusi menjadi semacam aktor ketiga dalam proses pembentukan undang-undang, di luar Pemerintah dan DPR. Ia menegaskan, hal ini menyalahi peran asli MK sebagai negative legislator, bukan positive legislator.

“Pertanyaannya, ketika MK dengan dalih menjadikan konstitusi sebagai living constitution atau konstitusi yang adaptif terhadap zaman, apakah bisa kemudian berubah menjadi lembaga ketiga pembentuk undang-undang setelah presiden dan DPR?” ujar Khozin dalam diskusi publik PKB bertajuk Proyeksi Desain Sistem Pemilu Pasca Putusan MK di Kompleks Parlemen, Jumat (3/7/2025).

Ia menilai, perlu ada penegasan kembali mengenai peran dan fungsi MK agar tidak menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk menempuh jalur konstitusional demi menolak produk hukum yang sudah melalui proses panjang.

“Pembuatan undang-undang ini sangat mahal, baik dari sisi biaya, tenaga, maupun waktu. Maka harus ada kepastian hukum. Kalau MK memang kini bertindak sebagai lembaga ketiga perumus undang-undang, ya mari kita lakukan constitutional engineering agar tugas pokok dan fungsi MK menjadi jelas dan tegas,” kata Khozin.


PKB Soroti Kontradiksi Putusan MK

Muhammad Khozin juga menyoroti adanya kontradiksi dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2025 yang mengatur pemisahan antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal. Menurutnya, putusan tersebut mengandung langkah-langkah paradoks jika dibandingkan dengan putusan MK sebelumnya, yakni Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang membahas hal serupa.

Khozin menilai, dalam putusan 135/2025, MK justru menetapkan salah satu dari enam opsi model keserentakan pemilu yang sebelumnya pernah dikaji, padahal dalam putusan tahun 2019, MK secara eksplisit menolak mengambil posisi atas model mana yang paling tepat.

“Dalam putusan 55/2019, MK dengan tegas menyatakan bahwa penentuan model keserentakan Pemilu adalah ranah pembentuk undang-undang. Tapi dalam putusan terbaru ini, MK justru memerintahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal secara terpisah,” ungkap Khozin.


Putusan MK Berisiko Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Muhammad Khozin, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah tidak serta-merta dapat diimplementasikan oleh pemerintah. Ia menyebut, justru ada potensi pelanggaran konstitusi apabila putusan tersebut dijalankan tanpa landasan hukum yang memadai.

“Secara implementatif, putusan ini tidak bisa langsung dijalankan oleh pemerintah karena memiliki implikasi terhadap sejumlah norma konstitusional. Khususnya yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 18 ayat (3), yang secara tegas menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali,” kata Khozin dalam diskusi publik di Kompleks Parlemen, Jumat (3/7/2025).

Ia mempertanyakan bagaimana interpretasi konstitusi akan dijalankan jika pelaksanaan pemilu dipisahkan tanpa revisi regulasi terlebih dahulu. “Terus kita mau tafsirkan seperti apa lagi? Kalau ini dijalankan, jangan sampai justru pelaksanaan perintah konstitusi dilakukan dengan cara yang melanggar konstitusi itu sendiri,” tegasnya.

Khozin menutup pernyataannya dengan mengingatkan pentingnya kepastian hukum. “Kalau seperti ini, tidak akan ada ruang bagi kepastian hukum. Justru kita berisiko menciptakan inkonsistensi dalam sistem ketatanegaraan kita,” ujarnya.