NewsRepublik.com, Pariwisata – Isu tambang nikel yang diduga merusak kawasan wisata alam Raja Ampat kini menjadi sorotan internasional. Media asal Vietnam, VN Express, ikut mengangkat kasus ini dalam artikel berjudul “Ekstraksi nikel mengancam wisata di ekonomi terbesar di Asia Tenggara” yang tayang pada Selasa (10/6/2025).
Dalam laporannya yang dikutip Rabu (11/6/2025), media tersebut menyoroti dampak aktivitas tambang terhadap kawasan Raja Ampat, Papua Barat, yang dikenal dunia sebagai surga ekowisata bahari.
“Raja Ampat, yang terletak di wilayah timur Indonesia, memiliki kekayaan ekosistem laut serta lanskap alam yang memesona. Kawasan ini menjadi destinasi utama bagi para penyelam dan pencinta alam dari berbagai negara,” tulis media itu.
Wilayah Raja Ampat juga dikenal memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, baik di darat maupun laut. Bahkan, kawasan ini telah mendapat pengakuan sebagai Geopark Global oleh UNESCO.
Namun, aktivitas pertambangan nikel dinilai mulai memberikan dampak serius. Volume besar sedimen dan lumpur yang terbawa ke laut akibat tambang disebut telah menyebabkan kekeruhan di perairan pesisir.
Sedimentasi tersebut dipandang sebagai ancaman nyata terhadap ekosistem terumbu karang yang menjadi rumah bagi lebih dari 75 persen spesies karang dunia.
Tambang Nikel Disebut Ganggu Rantai Nilai Pariwisata Raja Ampat, Masyarakat Lokal Angkat Suara
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5246450/original/059262100_1749452533-belantara-rimba-raja-ampat-kini-tinggal-cerita-5_169.jpeg)
Ancaman kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang nikel di Raja Ampat dinilai tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga berdampak pada sektor pariwisata dan perekonomian warga setempat. Sejumlah ahli lingkungan memperingatkan bahwa terumbu karang yang tertutup sedimen akan terganggu fungsi biologisnya.
“Ketika karang terkubur lumpur, pertukaran nutrisi, aktivitas kehidupan laut, dan proses ekosistem terganggu. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan kematian terumbu karang, yang kemudian merusak rantai ekosistem laut,” tulis VN Express.
Efek ekologis tersebut berdampak luas terhadap rantai nilai pariwisata. Penurunan kejernihan air dan hilangnya keanekaragaman hayati menyebabkan berkurangnya minat wisatawan terhadap Raja Ampat, yang berimbas langsung pada operasional usaha penyelaman, homestay, dan layanan perahu milik warga.
Kelompok masyarakat lokal, seperti komunitas orang Kawei bersama sejumlah asosiasi pelaku wisata, telah menyampaikan penolakan tegas terhadap aktivitas penambangan. Mereka menyerukan penghentian total operasi tambang yang dianggap mengancam kelestarian wilayah.
Tak hanya itu, desakan juga datang dari organisasi internasional yang mendorong pemerintah Indonesia untuk memperketat perlindungan terhadap pulau-pulau kecil. Mereka meminta penilaian lingkungan dilakukan dengan lebih ketat dan mendorong pemberlakuan larangan tambang di zona terumbu karang.
Sebagai respons atas situasi tersebut, Presiden Prabowo Subianto telah mengambil langkah tegas dengan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel milik empat dari lima perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, terhitung mulai Selasa (10/6/2025).
Prabowo Cabut IUP 4 Perusahaan Tambang di Raja Ampat, Dinilai Langkah Strategis dan Visioner

Empat perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan Raja Ampat—yakni PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Melia Raymond Perkasa, dan PT Kawai Sejahtera Mining—resmi dicabut izin usahanya oleh Presiden Prabowo Subianto. Keempat perusahaan tersebut dinilai melanggar ketentuan lingkungan hidup di kawasan yang telah ditetapkan sebagai geopark dunia.
Dikutip dari Liputan6.com, aktivitas tambang mereka terbukti tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan di wilayah sensitif ekologis seperti Raja Ampat.
Menanggapi keputusan tersebut, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, memberikan apresiasi tinggi terhadap langkah Presiden Prabowo. Ia menyebut keputusan tersebut sebagai “tepat, tegas, dan berpandangan jauh ke depan.”
“Stabilitas keamanan suatu kawasan, terlebih yang memiliki nilai strategis tinggi seperti Raja Ampat, baik secara ekologis maupun geopolitik, tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan,” ujar Fahmi, Selasa (10/6/2025).
Fahmi juga menilai kebijakan Presiden yang sebelumnya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan sebagai langkah preventif yang cermat.
“Langkah ini merupakan respons dini terhadap potensi konflik sosial, degradasi lingkungan, dan ancaman terhadap keamanan nasional,” tambahnya.
Greenpeace Apresiasi Pencabutan IUP Tambang Nikel di Raja Ampat, Desak Pemerintah Kawal Restorasi Lingkungan

Greenpeace Indonesia menyambut positif langkah pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyebut keputusan tersebut merupakan buah dari perjuangan panjang masyarakat adat dan gerakan sipil.
“Kabar baik ini bukan hanya kemenangan masyarakat sipil, tapi juga masyarakat adat Papua yang telah bersuara sejak lama,” ujar Kiki kepada Liputan6.com, Selasa (10/6/2025).
Kiki mengakui respons pemerintah terhadap isu ini terbilang lambat. Ia menyindir budaya birokrasi yang kerap hanya tanggap ketika isu sudah ramai di media sosial.
“No viral, no justice. Kalau nggak viral, nggak digubris, itu nyata adanya di negeri ini,” ucapnya.
Lebih lanjut, Greenpeace mendorong pemerintah untuk mencabut seluruh izin pertambangan di Raja Ampat—baik yang aktif maupun nonaktif—guna menjamin perlindungan ekosistem secara menyeluruh dan berkelanjutan.
“Greenpeace Indonesia mengajak publik untuk terus mengawal proses restorasi agar wilayah-wilayah yang telah rusak akibat pertambangan dapat dikembalikan ke fungsi ekologisnya,” tegas Kiki.