Berita

Kasus Siswa Meninggal di Garut, Puan Soroti Lemahnya Deteksi Dini Kekerasan di Sekolah

96
×

Kasus Siswa Meninggal di Garut, Puan Soroti Lemahnya Deteksi Dini Kekerasan di Sekolah

Share this article
Kasus Siswa Meninggal di Garut, Puan Soroti Lemahnya Deteksi Dini Kekerasan di Sekolah
Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025). (Tim News).

NewsRepublik.com, Berita – Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyoroti kasus meninggalnya seorang siswa SMA di Garut, Jawa Barat, berinisial P (16), yang diduga menjadi korban perundungan (bullying) di lingkungan sekolah.

Puan menilai, peristiwa tragis tersebut bukan sekadar duka individu, melainkan menandakan adanya krisis sistemik dalam dunia pendidikan yang belum mampu menyediakan perlindungan psikologis memadai bagi para siswa.

“Tentunya kami sangat berduka cita atas peristiwa memilukan ini. Kita berharap ke depan tidak ada lagi terjadi peristiwa semacam ini,” ujar Puan dalam keterangan resminya, Senin (21/7/2025).

“Ini adalah peringatan keras bahwa sistem deteksi dan intervensi dini terhadap kekerasan di sekolah masih jauh dari memadai,” tambahnya.

Diketahui, korban ditemukan meninggal dunia dengan cara gantung diri di rumahnya pada Senin (14/7), bertepatan dengan hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Berdasarkan keterangan pihak keluarga, korban diduga mengalami tekanan psikologis akibat perundungan fisik dan verbal yang berlangsung sejak Juni 2025.


Pembenahan Struktural dalam Penanganan

Puan menilai penanganan kasus perundungan di lingkungan sekolah harus dilakukan melalui pendekatan struktural, bukan semata responsif. Ia menyoroti rendahnya kapasitas guru dalam mengenali kondisi psikologis siswa, ketiadaan konselor profesional di banyak sekolah, serta lemahnya sistem pelaporan ramah anak sebagai persoalan mendasar yang perlu dibenahi.

“Dibutuhkan pembenahan menyeluruh, termasuk pelatihan berkala bagi guru dan tenaga kependidikan untuk mendeteksi gejala gangguan psikososial serta potensi kekerasan di lingkungan sekolah,” jelas Puan.

Ketua DPP PDI Perjuangan tersebut juga mendorong Kementerian Pendidikan dan Dinas Pendidikan Daerah agar menyediakan layanan pelaporan berbasis digital yang bersifat anonim dan mudah diakses oleh siswa, serta memastikan kehadiran konselor psikologis profesional di setiap sekolah menengah.

“Harus dilakukan pelatihan berkala untuk guru dan tenaga kependidikan dalam mendeteksi gejala gangguan psikososial, depresi, dan potensi kekerasan sosial di kelas,” tegasnya.


Pembentukan Satgas Perlindungan Anak dan Remaja

Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), jumlah kasus kekerasan di sekolah mengalami lonjakan signifikan pada tahun 2024, dengan total 573 kasus. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 285 kasus.

Secara rinci, JPPI mencatat 91 kasus pada tahun 2020, kemudian meningkat menjadi 142 kasus pada 2021, 194 kasus pada 2022, dan 285 kasus pada 2023. Sedangkan untuk kasus bullying di tahun 2025, hingga saat ini belum terdapat data resmi yang dirilis.

Menanggapi kondisi tersebut, Ketua DPR RI Puan Maharani mengusulkan pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Anak dan Remaja di Sekolah (Satgas PARS) yang terdiri dari unsur lintas sektor, mulai dari psikolog, tokoh masyarakat, hingga perwakilan instansi pemerintah.

“Kita tidak bisa menormalisasi bullying dengan dalih kenakalan remaja. Pembenahan terstruktur dalam mengatasi fenomena bullying di sekolah harus dilakukan segera demi masa depan generasi bangsa,” tegas Puan.