NewsRepublik.com, Berita – Pengurus Gereja GBKP menyatakan telah bertemu dengan pengurus lingkungan sebelum aksi penolakan warga Kalibaru, Cilodong, Depok, terkait pembangunan gereja yang dinilai kurang sosialisasi.
Ketua Marturia Gereja GBKP Studio Alam Depok, Zetsplayrs Tarigan, mengungkapkan bahwa pembangunan gereja dilakukan setelah pihaknya mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diterbitkan pada 4 Maret 2025.
“Nah, jadi berdasarkan IMB tersebut, makanya kami lakukan peletakan batu pertama,” ujar Tarigan, Sabtu (5/7/2025).
Tarigan menjelaskan bahwa pihaknya telah menggelar pertemuan pada Kamis (3/7/2025) bersama Camat, Lurah, LPM, pengurus RT2, RT5, dan RW3. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa pihak gereja akan menghibahkan sebagian lahan untuk akses jalan lingkungan.
“Jalan ini hanya 1,5 meter, tapi kita punya 3,5 meter. Kita akan hibahkan untuk akses menuju komplek atau ke warga,” jelasnya.
Kesepakatan lainnya terkait saluran air atau drainase. Selama ini, aliran air pembuangan masuk ke area lahan gereja. Pihaknya berkomitmen membangun saluran agar tidak lagi berdampak ke lingkungan sekitar.
“Kami akan bangun saluran airnya. Selain itu, gereja akan dibangun menggunakan tiang dan tidak diurug agar tidak menyebabkan banjir,” tambah Tarigan.
Lebih lanjut, Tarigan mengatakan bahwa gereja nantinya dapat digunakan untuk kegiatan masyarakat, termasuk acara seperti perlombaan Hari Kemerdekaan. Semua poin kesepakatan itu telah dicatat dalam pertemuan di kantor Kecamatan Cilodong.
“Ini sudah kami sampaikan ke Pak RW, Pak Wagino, agar diteruskan ke warga,” ucapnya.
Terkait tudingan kurangnya sosialisasi kepada warga, Tarigan membantah. Menurutnya, pihak gereja sudah berkomunikasi dengan pengurus lingkungan dan telah memiliki dokumentasi lengkap.
“Saat rapat di kantor camat, kami tunjukkan semua dokumentasi bahwa syarat sudah dipenuhi, termasuk komunikasi dengan warga melalui RT dan RW. Kan tidak mungkin kami datangi satu per satu warga,” tegasnya.
Tarigan menambahkan, permasalahan seharusnya sudah selesai sejak rapat di kantor kecamatan. Ia menegaskan, pembangunan gereja telah memenuhi semua persyaratan, termasuk jumlah jemaat yang mencapai 90 orang.
“Sertifikat tanah atas nama gereja sudah ada. Persetujuan dari 60 warga juga sudah kami dapatkan,” ujarnya.
Dengan kelengkapan dokumen tersebut, gereja mendapat persetujuan pembangunan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan melanjutkan proses izin bangunan ke Dinas DPMPTSP Kota Depok.
“Kami urus IMB-nya ke Dinas PTSP dan sudah selesai,” pungkas Tarigan.
Tolak Pembangunan Gereja
Warga RW 3 Kalibaru, Depok, menyatakan penolakan terhadap pembangunan gereja di wilayah mereka. Penolakan ini dilatarbelakangi minimnya sosialisasi dan dugaan manipulasi tanda tangan persetujuan warga.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kalibaru, Rudi Ardiansyah, mengatakan pembangunan gereja sudah berlangsung cukup lama tanpa adanya komunikasi yang memadai kepada warga. Ia menyebut pihak gereja tidak melibatkan masyarakat dalam proses mediasi.
“Secara tidak langsung sekarang perizinan mereka sudah keluar tanpa adanya persetujuan dari warga, padahal warga masih menolak pendirian gereja,” ujar Rudi Ardiansyah, Sabtu (5/7/2025).
Rudi menegaskan bahwa penolakan ini bukan karena sikap intoleran, mengingat di wilayah tersebut sudah berdiri dua gereja. Namun, menurutnya, penolakan terjadi karena kurangnya komunikasi dari pihak gereja kepada warga sekitar.
“Ini lebih kepada adab atau perlakuan pihak gereja terhadap warga. Dari awal belum pernah ada diskusi dengan masyarakat, dan itu yang kami sesalkan,” ujarnya.
Menurutnya, meskipun Pemerintah Kota Depok melalui dinas terkait telah menerbitkan izin, namun proses komunikasi dengan warga tidak ditempuh pihak gereja. Ia juga mengkritik jalur perizinan yang dinilai mengabaikan persetujuan RT dan RW setempat.
“Mereka menempuh jalur atas sampai perizinan turun, tanpa tandatangan dari RT dan RW,” tambahnya.
Penolakan pembangunan gereja di lokasi tersebut bukan kali pertama terjadi. Konflik serupa telah muncul sebelumnya, sehingga pembangunan gereja belum dapat direalisasikan hingga kini.
“Warga sudah geram dan kesal dengan perlakuan pihak gereja. Berbeda dengan gereja lain yang ada di belakang, yang butuh dua tahun sosialisasi tapi tidak pernah ditolak,” jelas Rudi.
Ia juga mengungkapkan adanya dugaan manipulasi dokumen persetujuan warga. Beberapa tanda tangan warga disebut tidak sesuai dengan data domisili, bahkan ditemukan tanda tangan atas nama warga yang telah meninggal dunia.
“Ada yang meninggal, tapi masih muncul tanda tangannya. Itu jadi bukti adanya manipulasi data tanpa konfirmasi ke RT dan RW,” tegasnya.
Untuk mencegah konflik yang tidak diinginkan, Rudi mengimbau agar pembangunan gereja ditunda hingga tercapai kesepahaman melalui komunikasi yang baik dengan warga.
“Mereka tetap memaksakan diri karena merasa sudah memiliki izin. Tapi di lapangan situasi masih memanas, akhirnya warga pun turun dan menggelar aksi protes,” tutupnya.