NewsRepublik.com, Ekonomi – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 sebesar 5,12%. Secara nominal, capaian ini dinilai positif di tengah tekanan ekonomi global dan domestik.
Namun, alih-alih menuai optimisme, capaian tersebut justru menimbulkan tanda tanya dari masyarakat dan kalangan akademisi. Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai angka tersebut tidak sejalan dengan proyeksi sejumlah lembaga kredibel.
“Pada akhirnya, rilis angka pertumbuhan PDB sebesar 5,12% oleh BPS tidak membawa optimisme, melainkan justru menjelma menjadi sumber kecurigaan massal,” kata Achmad dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).
Bank Dunia, IMF, serta sejumlah lembaga riset nasional sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4,7% hingga 4,95%. Sementara Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan di rentang 4,7%–5,1%. Dengan demikian, angka BPS melampaui batas atas estimasi paling optimistis. Kondisi ini dinilai tidak sejalan dengan realitas di lapangan seperti lemahnya konsumsi rumah tangga, stagnasi investasi, dan penurunan kinerja ekspor.
Achmad menilai kesenjangan antara data BPS dan estimasi lembaga-lembaga kredibel tersebut menimbulkan pertanyaan besar, apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan kondisi ekonomi aktual atau justru mengarah pada krisis kepercayaan terhadap data resmi pemerintah.
Metodologi BPS Jadi Sorotan

Achmad Nur Hidayat menilai, perbedaan signifikan antara data resmi dan kondisi riil ekonomi harus menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah. Ia menyoroti kemungkinan penggunaan metodologi lama oleh BPS yang dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan struktur ekonomi digital saat ini.
Menurutnya, perubahan pesat dalam ekonomi, terutama munculnya sektor digital dan ekonomi informal, belum sepenuhnya terakomodasi secara optimal dalam survei yang dilakukan BPS.
“Keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus kita bedah dengan nalar kritis. Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja,” ujarnya.
Representasi Data Dinilai Tidak Merata

Achmad Nur Hidayat juga menyoroti potensi ketimpangan dalam representasi data ekonomi. Beberapa sektor yang didominasi pemerintah, seperti konstruksi dan belanja negara, dinilai terlalu besar pengaruhnya dalam perhitungan.
Sebaliknya, sektor swasta dan UMKM yang tengah mengalami tekanan justru kurang terwakili dalam data tersebut. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa metode pengumpulan dan pengolahan data perlu mendapat tinjauan ulang.
Karena itu, Achmad mengusulkan agar dilakukan audit metodologi secara menyeluruh dan independen terhadap BPS. Langkah ini bukan untuk mencari kesalahan, melainkan memastikan akurasi serta kredibilitas data di masa mendatang.
“Satu-satunya jalan keluar yang kredibel dari labirin ketidakpercayaan ini adalah melalui sebuah Audit Metodologi Komprehensif dan Independen terhadap BPS,” pungkasnya.