Internasional

Profil Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran yang Dikabarkan Jadi Target Pembunuhan PM Israel

3
Profil Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran yang Dikabarkan Jadi Target Pembunuhan PM Israel
Profil Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran yang Dikabarkan Jadi Target Pembunuhan PM Israel

NewsRepublik.com, InternasionalAyatollah Ali Khamenei telah menjadi sosok sentral dalam lanskap politik Iran selama lebih dari empat dekade. Sejak 1989, ia menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, merangkap posisi sebagai pemimpin politik sekaligus religius tertinggi di negara tersebut.

Dalam kurun waktu tersebut, Khamenei membimbing Iran melewati berbagai dinamika sosial dan politik, sekaligus mempertahankan peran strategisnya di tataran geopolitik global.

Kini, namanya kembali menjadi sorotan setelah dikabarkan menjadi target rencana pembunuhan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—rencana yang disebut-sebut mendapat penolakan langsung dari Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump.

Latar Belakang dan Pendidikan

Dalam laporan MiddleEastEye.net yang dirilis Selasa (17/6/2025), Khamenei diketahui lahir dari keluarga ulama pada 19 April 1939. Ia mengenyam pendidikan agama di kota suci Mashhad, lalu melanjutkan studi ke Najaf, Irak.

Setelah kembali ke Iran, Khamenei menetap di Qom dan memperdalam ilmu keislamannya di bawah bimbingan tokoh-tokoh ternama seperti Ayatollah Hossein Borujerdi dan Ayatollah Ruhollah Khomeini, sosok yang kelak menjadi Pemimpin Tertinggi pertama Iran.


Aktivisme Politik dan Perlawanan terhadap Rezim Shah

Pada era 1960-an hingga 1970-an, Khamenei terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi. Aktivitas ini membuatnya berkali-kali ditangkap dan disiksa oleh polisi rahasia SAVAK.

Titik balik terjadi pada 1979, saat Shah digulingkan melalui revolusi rakyat. Khomeini yang selama ini diasingkan pun kembali ke Iran dengan sambutan besar-besaran.

Meniti Karier Politik

Setelah Revolusi Islam, Khamenei dengan cepat menanjak di panggung politik. Ia menduduki posisi penting di Dewan Revolusi Islam, menjadi anggota parlemen, serta menjabat Wakil Menteri Pertahanan. Ia juga dipercaya memimpin salat Jumat di Teheran.

Pada 1981, Khamenei selamat dari percobaan pembunuhan dalam sebuah ledakan bom yang disamarkan dalam alat perekam suara saat ia tengah berpidato di masjid. Serangan tersebut dikaitkan dengan kelompok anti-klerikal, Forqan Group. Khamenei mengalami luka serius dan mengalami kelumpuhan di lengan kanannya.

Di tahun yang sama, usai terbunuhnya Presiden Mohammad Ali Raja’i dan PM Mohammad Javad Bahonar oleh kelompok oposisi Mujahedin-e Khalq, Khamenei mencalonkan diri sebagai presiden dan menang telak dengan 95 persen suara.

Ia mendapat dukungan dari sejumlah tokoh politik lain, termasuk Mir-Hossein Mousavi yang kemudian menjabat perdana menteri. Dalam masa pemerintahannya, Khamenei memperkuat posisi ulama dalam pemerintahan, meski sempat berselisih dengan kalangan progresif termasuk Mousavi.

Kebijakan Luar Negeri dan Sikap Terhadap Barat

Kebijakan luar negeri Khamenei pada awal masa jabatannya difokuskan pada penanganan Perang Iran-Irak yang berlangsung selama delapan tahun dan menewaskan hampir satu juta orang di kedua belah pihak.

Pada 1987, di Sidang Umum PBB, Khamenei menyampaikan kritik tajam terhadap kehadiran Amerika Serikat di kawasan. Ia menyerukan solidaritas antarnegara Dunia Ketiga sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi global.


Proses Menjadi Pemimpin Tertinggi

Tahun 1989 menandai perubahan besar, seiring wafatnya Ayatollah Khomeini pada 3 Juni. Ayatollah Hossein Ali Montazeri yang sebelumnya diproyeksikan sebagai pengganti, didepak hanya tiga bulan sebelum kematian Khomeini karena dinilai terlalu moderat.

Majelis Ahli Iran kemudian menetapkan Khamenei sebagai Pemimpin Tertinggi baru, meski saat itu dirinya hanya berstatus hojatoleslam, gelar keulamaan tingkat menengah. Dalam pidato pelantikannya, Khamenei bahkan menyebut dirinya sebagai “seminaris kecil”.

Konstitusi kemudian diamandemen, menekankan bahwa syarat utama pemimpin adalah kemampuan membaca zaman dan kepiawaian politik, bukan semata-mata kredensial keagamaan. Perubahan itu juga disertai penguatan kekuasaan eksekutif presiden.

Awal Kepemimpinan dan Duet Kekuasaan

Langkah Khamenei menuju tampuk tertinggi membuka era kepemimpinan ganda bersama Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, yang menjabat sebagai presiden dari 1989 hingga 1997. Di tahun-tahun awal, keduanya bekerja selaras dalam mengelola transisi Iran pasca-Khomeini.

Exit mobile version