Kesehatan

Sindrom Nefrotik alias Ginjal Bocor Bisa Serang Anak Tanpa Gejala, Waspadai Risikonya!

101
×

Sindrom Nefrotik alias Ginjal Bocor Bisa Serang Anak Tanpa Gejala, Waspadai Risikonya!

Share this article
Tanpa gejala jelas, sindrom nefrotik bisa menyerang anak dan berujung fatal. Orangtua wajib tahu risikonya sebelum semuanya terlambat!
Gejalanya samar, tapi dampaknya bisa fatal. Sindrom nefrotik alias ginjal bocor bisa mengintai anak tanpa disadari. Waspadai sejak dini! © Ilustrasi dibuat AI

NewsRepublik.com, KesehatanPenyakit ginjal bocor atau dalam istilah medis dikenal sebagai Sindrom Nefrotik, rentan menyerang anak-anak dan kerap kali hadir tanpa gejala yang mudah dikenali.

Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Ahmedz Widiasta, Sp.A, Subsp.Nefro(K), M.Kes, menjelaskan bahwa gejala yang tampak umumnya berupa pembengkakan di area kelopak mata, urine berbusa, serta penurunan volume urine.

“Namun ada juga gejala yang sulit dikenali. Justru yang tidak terlihat itulah yang lebih berbahaya,” ujar dr. Ahmedz dalam seminar media bertajuk Sindrom Nefrotik/Kebocoran Protein Pada Anak, Selasa, 8 Juli 2025.

Terkait penyebabnya, dr. Ahmedz menyatakan bahwa mayoritas kasus ginjal bocor pada anak bersifat idiopatik atau tidak diketahui penyebab pastinya. “Sebagian besar bukan karena faktor genetik. Hanya sekitar 20 persen yang disebabkan oleh kelainan genetik atau mutasi,” ungkapnya.

“Kalau bicara soal epigenetik, penelitian di bidang ini masih sangat terbatas dan memerlukan biaya tinggi,” tambahnya.


Mengapa Ginjal Bisa Bocor? Ini Penjelasan Medis

Penyakit ginjal bocor atau Sindrom Nefrotik menyebabkan protein dalam darah yang seharusnya diserap kembali oleh tubuh justru ikut terbuang bersama urine.

Menurut Dr. Ahmedz Widiasta, Sp.A, Subsp.Nefro(K), M.Kes, kondisi ini disebabkan oleh kerusakan pada bagian terkecil dari ginjal bernama glomerulus, yakni bagian yang berfungsi menyaring seluruh darah sebelum diedarkan kembali ke tubuh.

“Pada ginjal yang bocor, proses penyaringan di glomerulus tetap berlangsung, namun protein yang seharusnya kembali ke aliran darah justru terbuang ke urine,” jelas dr. Ahmedz.

Akibatnya, darah yang beredar kembali ke tubuh memiliki kadar protein yang rendah. “Kondisi ini menyebabkan tekanan onkotik dalam pembuluh darah menurun,” ungkapnya.

Tekanan onkotik berfungsi menahan cairan tetap berada di dalam pembuluh darah. Ketika tekanan ini menurun, cairan berpindah ke rongga-rongga tubuh lain seperti rongga perut, paru-paru, jantung, hingga ke jaringan di bawah kulit.

“Kurangnya cairan dalam pembuluh darah memicu kondisi yang disebut volume depletion, yaitu berkurangnya volume cairan secara signifikan dalam sirkulasi darah,” kata dr. Ahmedz.

Jika kondisi ini terus berlanjut, pasokan darah ke seluruh tubuh juga akan terganggu dan menyebabkan komplikasi serius.


Waspadai Bahaya Ginjal Bocor pada Anak

Dr. Ahmedz Widiasta, Sp.A, Subsp.Nefro(K), M.Kes mengungkapkan bahwa kondisi volume depletion akibat ginjal bocor dapat memicu dampak serius, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Bahaya jangka pendek mencakup gangguan ginjal akut serta syok yang menyebabkan darah tidak dapat bersirkulasi secara optimal ke seluruh tubuh. Akibatnya, organ-organ vital seperti otak dan jantung tidak mendapat pasokan darah yang cukup.

Selain itu, gangguan pernapasan juga menjadi salah satu dampak jangka pendek yang perlu diwaspadai. Tekanan dari pembesaran rongga perut dapat menyebabkan paru-paru tidak dapat mengembang sempurna, atau bahkan menimbulkan cairan berlebih di dalam pleura—lapisan pelindung paru-paru.

“Kalau cairan terlalu banyak di sana, paru-paru sulit mengembang dengan baik, sehingga timbul gangguan napas,” jelas dr. Ahmedz.

Sementara dalam jangka panjang, dampak ginjal bocor tak kalah mengkhawatirkan. Dr. Ahmedz menegaskan bahwa efeknya bisa terasa dalam rentang dua hingga lima tahun ke depan.

Bahaya jangka panjang meliputi gangguan ginjal akut berulang, berkembang menjadi penyakit ginjal kronik, hingga berujung pada gagal ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi cuci darah secara rutin.

“Bahkan gangguan ginjal akut yang dianggap ringan pun dampaknya cukup besar, bisa sampai cuci darah,” tandasnya.


Bisakah Ginjal Bocor Dicegah pada Anak?

Dr. Ahmedz Widiasta, Sp.A, Subsp.Nefro(K), M.Kes menegaskan bahwa Sindrom Nefrotik atau ginjal bocor pada anak hingga kini masih sulit dicegah, mengingat penyebab pastinya belum diketahui secara pasti.

“Namun, yang bisa kita lakukan adalah skrining atau penapisan dini untuk melihat apakah terdapat kebocoran protein dalam urine, meski anak tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala apa pun,” ujarnya.

Menurut dr. Ahmedz, salah satu tantangan terbesar dalam mendeteksi kondisi ini adalah banyaknya kasus tanpa gejala. “Kita tidak pernah tahu apakah anak benar-benar sehat atau tidak,” jelasnya.

Ia mencontohkan hasil studi yang pernah dilakukan di salah satu sekolah menengah atas di Jawa Barat. “Dari hasil skrining, sekitar 12 persen siswa di sekolah tersebut ternyata mengalami sindrom nefrotik, padahal sebelumnya tidak terdeteksi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dr. Ahmedz membagi upaya pencegahan dalam dua kategori: pencegahan primer dan sekunder.

Pencegahan primer dilakukan melalui skrining protein urine minimal satu kali dalam setahun, untuk mendeteksi adanya potensi ginjal bocor meskipun belum ada gejala yang muncul.

Sementara itu, pencegahan sekunder ditujukan bagi pasien yang telah terdiagnosis sindrom nefrotik. Tujuannya adalah mengurangi risiko komplikasi serta menekan frekuensi kekambuhan.

“Pencegahan sekunder ini penting agar pengidap sindrom nefrotik tidak mengalami penyakit ginjal kronik,” tegas dr. Ahmedz.