NewsRepublik.com, Kesehatan – Keju tak lagi sekadar pelengkap makanan atau camilan favorit. Kandungan dalam produk olahan susu ini rupanya memiliki manfaat tersembunyi yang berkaitan erat dengan kesehatan mental seseorang.
Ahli gizi olahraga dari Asosiasi Ahli Gizi Olahraga Indonesia (ISNA), Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes, mengungkapkan bahwa konsumsi keju memiliki keterkaitan signifikan terhadap kondisi psikologis individu.
“Konsumsi keju berkaitan dengan kesehatan mental. Mengapa demikian? Karena di dalam keju terdapat bakteri asam laktat,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Rita menjelaskan, bakteri asam laktat, khususnya spesies Lactobacillus, secara alami muncul dalam proses fermentasi keju untuk memperkaya cita rasa. Bila keju dikonsumsi dalam kondisi tidak dipanaskan, bakteri tersebut tetap aktif dan dapat langsung diterima saluran cerna.
Menurutnya, sistem pencernaan memiliki peran vital yang sering disebut sebagai ‘otak kedua’. Kehadiran bakteri baik ini mampu mengaktifkan komunikasi dua arah secara homeostatik melalui jalur saraf otak, yang berpengaruh pada modulasi emosi, kognisi, hingga suasana hati.
“Bakteri tersebut akan merangsang otak untuk menghasilkan hormon yang memicu perasaan bahagia,” tuturnya.
Kaya Protein, Keju Dorong Produksi Hormon Bahagia
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4950839/original/014414800_1727078513-Screenshot_2024-09-23_110825.jpg)
Tak hanya mengandung bakteri baik, keju juga dikenal sebagai sumber protein tinggi yang memberikan manfaat penting bagi kesehatan otak. Kandungan proteinnya yang didominasi oleh tirosin dan peptida bioaktif, mampu merangsang produksi hormon dopamin — senyawa kimia otak yang berperan dalam menimbulkan perasaan senang dan termotivasi.
Dr. Rita Ramayulis mengungkapkan, di Indonesia kebanyakan masyarakat memicu produksi dopamin dari asupan gula berlebih, alih-alih dari sumber protein berkualitas seperti keju.
“Orang Indonesia sejak usia 10 tahun sudah terbiasa mengonsumsi makanan dan minuman manis lebih dari dua kali sehari,” ujarnya.
Ia merujuk data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang mencatat bahwa sebanyak 42,90 persen anak usia 10–14 tahun secara rutin mengonsumsi gula, sirup, hingga produk konfeksioneri.
Kebiasaan ini, lanjut Rita, menjadi pemicu meningkatnya risiko gangguan metabolik seperti obesitas dan diabetes. Di sisi lain, keju yang kaya akan lemak sehat justru kerap disalahgunakan dalam cara penyajian.
“Tidak semua lemak itu jahat. Banyak lemak baik, tetapi kita mendapatkannya dalam bentuk jahat karena kebiasaan menggoreng,” kata Rita.
Menurutnya, ketika bahan makanan yang seharusnya sehat seperti keju digoreng, maka kandungan nutrisinya bisa berubah dan justru berdampak buruk bagi tubuh.
Hidup Lebih Sehat dengan Keju
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2720064/original/073114700_1549256798-mozzarella-681466_1920.jpg)
Rita menekankan bahwa keju mengandung lemak linoleat, sejenis lemak sehat yang berperan penting dalam mendukung fungsi kognitif serta sistem saraf otak. Lemak ini berkontribusi terhadap kemampuan otak dalam mengatur emosi dan bekerja secara optimal.
“Kalau ada camilan praktis seperti keju yang bisa menggantikan kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi gula atau lemak jenuh, tentu sangat kita dukung. Itu bisa meminimalkan risiko penyakit di masa depan,” tegas Rita.
Dukungan terhadap konsumsi keju bukan tanpa dasar. Pada tahun 2024, sebuah studi genetik berskala besar yang dilakukan oleh peneliti di Tiongkok menemukan keterkaitan antara kesehatan mental yang baik dan harapan hidup yang lebih panjang. Studi itu mengungkap bahwa gaya hidup sehat termasuk konsumsi keju berpotensi memperpanjang usia dan menjaga kualitas hidup.
Para peneliti mempelajari data genetik jutaan orang Eropa dan menemukan bahwa konsumsi keju jenis gouda yang berasal dari Belanda ternyata memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.
“Siapa yang tak ingin mendengar bahwa makan keju bisa membantu mereka hidup lebih lama dan lebih sehat?” tulis laporan itu, menegaskan bahwa manfaat keju bukan sekadar mitos belaka, tetapi didukung oleh bukti ilmiah.
Keju dalam Diet Seimbang
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3166193/original/035506700_1593504697-aliona-gumeniuk-7sJMQ_amtiQ-unsplash.jpg)
Namun, manfaat keju tidak berhenti pada rasa bahagia semata. Mengutip Science Alert, Selasa (16 Juli 2024), hasil studi terbaru menunjukkan bahwa kebahagiaan memiliki pengaruh besar terhadap proses penuaan bahkan disebut lebih signifikan dibandingkan kebiasaan merokok.
Meski demikian, banyak penelitian observasional sebelumnya sering kali menyisakan celah karena adanya faktor eksternal seperti status sosial ekonomi yang bisa memengaruhi hasil. Yang membuat studi ini menonjol adalah penggunaan metode pengacakan Mendel (Mendelian randomization) sebuah teknik yang membantu peneliti melihat hubungan sebab-akibat antara faktor genetik dan kondisi kesehatan, tanpa perlu melakukan uji klinis yang mahal dan rumit.
Dengan pendekatan ini, para peneliti mampu menyaring berbagai kemungkinan penyebab dan fokus pada hubungan biologis murni yang berkontribusi terhadap kesejahteraan mental dan fisik.
Menariknya, tak semua produk susu berlemak memiliki efek yang sama. Produk seperti es krim sering kali dikaitkan dengan risiko penurunan kesehatan mental, namun jenis keju tertentu terutama jika dikonsumsi dalam porsi wajar dan bagian dari diet seimbang justru menunjukkan efek positif.
Artinya, keju bisa menjadi bagian dari pola makan sehat, asalkan tidak dikombinasikan dengan kebiasaan makan yang buruk seperti konsumsi makanan tinggi gula, garam, dan lemak trans.