Berita

Uang Rp2 Triliun Hasil Korupsi CPO Dipamerkan, Jadi Penyitaan Terbesar Sepanjang Sejarah Kejagung?

20
Uang Rp2 Triliun Hasil Korupsi CPO Dipamerkan, Jadi Penyitaan Terbesar Sepanjang Sejarah Kejagung?
Uang Rp2 Triliun Hasil Korupsi CPO Dipamerkan, Jadi Penyitaan Terbesar Sepanjang Sejarah Kejagung?

NewsRepublik.com, Berita – Tumpukan uang tunai pecahan Rp100 ribu memenuhi pelataran Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Selasa (17/6/2025). Dikemas rapi dalam plastik bening, balok-balok uang tersebut merupakan bagian dari sitaan negara dalam kasus dugaan korupsi crude palm oil (CPO) yang nilainya mencengangkan.

Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Jakarta Selatan mendadak berubah menjadi lautan rupiah. Total Rp2 triliun uang negara yang berhasil disita, dipamerkan ke hadapan publik. Jumlah ini disebut-sebut sebagai penyitaan terbesar yang pernah dilakukan Kejaksaan Agung.

“Ini adalah press conference terkait penyitaan uang dalam jumlah yang sangat besar. Barangkali ini penyitaan terbesar sepanjang sejarah Kejaksaan,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar di lokasi.

Uang Rp2 triliun itu merupakan bagian dari total sitaan senilai Rp11,8 triliun dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO yang menyeret lima perusahaan di bawah naungan Wilmar Group. Kelima korporasi yang ditetapkan sebagai terdakwa adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

“Total nilainya mencapai Rp11.880.351.802.619, dan Rp2 triliun di antaranya kami tampilkan hari ini,” kata Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno, saat konferensi pers.

Ia menjelaskan, keterbatasan tempat dan pertimbangan keamanan menjadi alasan hanya sebagian uang yang dipamerkan. Kendati demikian, jumlah yang ditampilkan dianggap cukup menggambarkan besarnya kerugian negara akibat kasus ini.

“Kenapa tidak ditampilkan seluruhnya? Karena keterbatasan tempat dan faktor keamanan. Jumlah ini cukup untuk mewakili kerugian negara,” tuturnya.

Menko Polhukam Apresiasi Kejagung

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung yang dinilainya progresif dalam penegakan hukum.

“Langkah progresif Kejaksaan Agung patut diapresiasi. Ini merupakan bentuk nyata komitmen terhadap penegakan hukum dan perlindungan kepentingan negara,” ucap Budi.

Budi juga menyoroti peran Desk Tindak Pidana Korupsi dan Tata Kelola Pemerintahan di bawah koordinasi Kemenko Polhukam, yang dinilai berkontribusi dalam memperkuat sinergi antarlembaga dan pengawasan tata kelola pemerintahan.

Menurutnya, keberhasilan penyitaan ini menjadi momentum penting dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Lebih jauh, ia mendorong agar keberhasilan ini dijadikan pelajaran dalam memperketat pengawasan terhadap sektor-sektor strategis yang rawan korupsi.

“Penanganan kasus ini akan menjadi contoh penting dalam penegakan hukum yang adil dan transparan. Pemerintah akan terus mengawal hingga proses hukum ini tuntas,” tegasnya.

DPR: Usut Tuntas, Jangan Tebang Pilih

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKB, Hasbiallah Ilyas, turut memberikan apresiasi atas capaian Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus besar ini.

“Kinerja Kejaksaan Agung layak diapresiasi. Penyitaan dana sebesar ini dari kasus CPO menunjukkan keseriusan dalam melindungi kepentingan negara,” ujarnya.

Namun, Hasbiallah menekankan bahwa penanganan kasus harus dilakukan hingga tuntas dan tidak tebang pilih. Seluruh pihak yang terlibat, baik korporasi maupun pejabat, harus dimintai pertanggungjawaban sesuai hukum.

“Harus diusut sampai ke akar-akarnya. Siapa pun yang terlibat harus diproses tanpa pandang bulu,” tegasnya.

Ia juga mendorong agar proses hukum dilakukan secara transparan demi menjaga kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.

“Publik berhak tahu siapa saja yang menikmati hasil kejahatan ini. Transparansi penting untuk menghindari kecurigaan dan spekulasi,” imbuhnya.

Komisi III DPR, kata dia, akan terus mengawasi proses penanganan kasus dan memastikan tidak ada intervensi dalam proses hukum yang berjalan.

Dorongan Bongkar Kasus Serupa

Anggota Komisi III DPR RI lainnya, Abdullah, mendesak Kejaksaan Agung untuk terus mengungkap jaringan korupsi serupa.

“Saya minta Kejagung melalui Jampidsus tidak kendor mengungkap jaringan korupsi, seperti pada kasus CPO Wilmar Group yang bahkan sempat divonis lepas oleh PN Jakpus. Fakta membuktikan adanya kolusi antara hakim, pengacara, dan pihak swasta,” ujar Abdullah.

Ia menegaskan bahwa komitmen Kejaksaan harus dijalankan secara konsisten, agar tidak menimbulkan kesan tebang pilih dalam penegakan hukum.

“Langkah progresif ini harus dijalankan secara konsisten. Jika tidak, Kejagung bisa dianggap tidak netral,” katanya.

Abdullah juga mendorong Kejagung untuk menyampaikan data sitaan secara rinci kepada publik melalui platform resmi.

“Data hasil sitaan harus diumumkan secara terbuka sebagai bentuk transparansi, sekaligus untuk mewujudkan pengembalian uang negara demi kesejahteraan rakyat, seperti yang ditekankan Presiden Prabowo,” tandasnya.


Kembalikan Uang Negara, Wilmar Group Berharap Keringanan Hukuman?

Pengembalian dana negara oleh Wilmar Group dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) dinilai sebagai langkah positif. Namun, menurut pengamat hukum pidana Abdul Fickar Hadjar, hal itu tidak serta merta menghapus pertanggungjawaban pidana korporasi.

“Meski pengembalian kerugian negara tidak menghapus kesalahan pidana, hakim bisa mempertimbangkannya sebagai faktor yang meringankan,” kata Fickar kepada wartawan.

Ia menilai, pengembalian dana sitaan dapat dimaknai sebagai bentuk pengakuan tidak langsung atas keterlibatan dalam tindak pidana korupsi. Kendati demikian, keputusan akhir tetap berada di tangan majelis hakim.

“Langkah ini pada dasarnya merupakan pengakuan bersalah. Tapi kembali lagi, semua akan bergantung pada pertimbangan hakim,” ujarnya.

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung telah menyita dana sebesar Rp11,8 triliun dari lima entitas anak perusahaan Wilmar Group. Seluruh dana tersebut saat ini masih berstatus sebagai barang bukti dalam proses hukum yang berjalan.

Fickar menjelaskan, uang yang disita belum dapat dimasukkan ke kas negara sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah). Ia menambahkan, penggunaan dana tersebut nantinya juga harus mengikuti prosedur dan mekanisme dalam APBN.

“Penyerahan uang sitaan kepada negara harus menunggu putusan pengadilan yang inkrah. Penggunaannya tetap tunduk pada mekanisme yang diatur dalam APBN,” jelasnya.

Terkait pengembalian dana secara “sukarela”, Fickar menduga ada harapan dari pihak korporasi untuk memperoleh keringanan hukuman, termasuk menghindari ancaman pembubaran badan hukum yang berdampak besar secara ekonomi.

“Pasti ada harapan dari korporasi. Setidaknya agar tidak dikenai hukuman berat seperti pembubaran perusahaan, yang risikonya sangat tinggi secara ekonomi,” kata Fickar.

Ia membandingkan posisi Wilmar Group sebagai korporasi besar dengan perusahaan kecil yang kemungkinan besar tidak akan sanggup bertahan jika terseret kasus hukum serupa.

“Berbeda dengan perusahaan-perusahaan kecil atau menengah yang secara permodalan maupun reputasi belum tentu mampu bertahan,” lanjutnya.

Menutup pernyataannya, Fickar mengingatkan para pelaku usaha untuk tetap menjunjung kejujuran dan kepatuhan terhadap hukum agar kegiatan bisnis tetap sehat dan kompetitif. Ia juga mengimbau pemerintah untuk tidak membebani sektor usaha dengan regulasi yang menyulitkan.

“Berusahalah dengan jujur agar korporasi tetap sehat dalam persaingan yang ketat. Di sisi lain, pemerintah jangan mempersulit pelaku usaha dengan aturan-aturan yang memberatkan,” pungkasnya.

Menurutnya, iklim usaha yang kondusif sangat menentukan keberlangsungan dunia bisnis dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional menuju Indonesia Maju.


Nyaris Lepas, Uang Rampasan Triliunan Rupiah dari Kasus Korupsi CPO Diselamatkan

Uang rampasan negara senilai triliunan rupiah dalam perkara korupsi crude palm oil (CPO) sempat berada di ujung tanduk. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sempat memvonis lepas para terdakwa, yang terdiri dari tiga korporasi raksasa: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

Ketiganya dibebaskan dari seluruh dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam salinan putusan, majelis hakim menyatakan bahwa meskipun perbuatan yang didakwakan terbukti dilakukan, perbuatan tersebut tidak tergolong sebagai tindak pidana.

“Para terdakwa dinyatakan telah melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan subsidair, namun perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging). Maka para terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum,” demikian kutipan putusan tersebut.

Dengan putusan tersebut, ketiga perusahaan dilepaskan dari segala tuntutan hukum, baik primair maupun subsidair, membuat keberadaan uang rampasan senilai triliunan rupiah itu sempat terancam lepas dari negara.

Namun kasus ini berbuntut panjang. Tiga hakim yang memutus perkara tersebut — Djuyamto (ketua majelis), Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom (hakim ad hoc) — belakangan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi. Mereka diduga menerima suap bersama Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, dengan nilai mencapai Rp60 miliar. Dari total tersebut, ketiga hakim disebut menerima imbalan Rp22,5 miliar terkait vonis lepas yang mereka jatuhkan.

Kejaksaan Agung pun bergerak cepat dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Direktur Penuntutan Jampidsus, Sutikno, menyatakan bahwa uang rampasan yang telah disita menjadi salah satu poin krusial dalam memori kasasi yang diajukan.

“Uang yang telah kami sita tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi, sehingga keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh Hakim Agung yang memeriksa perkara ini,” tegasnya.

Ia menambahkan, uang rampasan tersebut tidak hanya penting dalam proses hukum, namun juga untuk menutup kerugian negara akibat praktik korupsi dalam distribusi minyak goreng yang mengguncang sektor pangan nasional pada 2022 lalu.

“Uang ini nantinya akan digunakan untuk membayar kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi minyak goreng,” ujarnya.

Langkah Kejagung ini dinilai sebagai bagian dari upaya untuk memastikan kerugian negara benar-benar bisa dipulihkan, sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum.


Wilmar Group Klaim Dana Rp11,88 Triliun Bukan Sitaan, Melainkan Dana Jaminan

Manajemen Wilmar International Limited buka suara terkait uang triliunan rupiah yang saat ini berada dalam penguasaan Kejaksaan Agung. Pihak Wilmar menegaskan bahwa dana tersebut bukan hasil sitaan, melainkan dana jaminan yang diserahkan secara sukarela.

“Uang itu bukan sitaan karena proses hukum masih berjalan, bahkan sidang pun belum dimulai,” demikian pernyataan resmi manajemen Wilmar seperti dikutip Selasa (pekan ini).

Wilmar menjelaskan bahwa pada April 2024, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melayangkan dakwaan kepada lima entitas anak usaha Wilmar Group: PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

Kelima perusahaan itu diduga terlibat dalam praktik korupsi pada periode Juli hingga Desember 2021, saat Indonesia tengah dilanda kelangkaan minyak goreng. Dakwaan menyebut kerugian negara mencapai Rp12,3 triliun atau setara dengan sekitar USD 755 juta.

Meski demikian, Wilmar bersikukuh bahwa seluruh aktivitas ekspor minyak goreng yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat itu.

“Sejak awal, kami menyampaikan bahwa seluruh tindakan yang dilakukan selama periode tersebut telah mematuhi aturan hukum yang berlaku,” tulis manajemen.

Dalam perkembangan perkara, Kejaksaan Agung mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Mahkamah Agung (MA). Sebagai bentuk dukungan terhadap proses hukum, Wilmar mengaku telah menempatkan dana jaminan senilai Rp11,88 triliun.

“Penempatan dana jaminan ini dimaksudkan untuk menunjukkan itikad baik serta keyakinan kami bahwa perusahaan tidak bersalah dalam perkara ini,” kata Wilmar.

Dana tersebut, lanjut pernyataan, merepresentasikan sebagian dari dugaan kerugian negara dan keuntungan ilegal yang dituduhkan kepada pihak Wilmar.

Pihak perusahaan menyatakan, dana jaminan akan dikembalikan sepenuhnya jika MA memutuskan untuk menguatkan vonis bebas PN Jakarta Pusat. Sebaliknya, dana bisa disita sebagian atau seluruhnya tergantung pada putusan akhir.

“Penempatan dana ini merupakan langkah sukarela dari pihak Wilmar sebagai bentuk kepercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia,” tegas manajemen.

Wilmar juga kembali menekankan bahwa semua kegiatan yang dilakukan perusahaan dilakukan dengan niat baik dan tanpa motif koruptif.

Exit mobile version